Halaman

Selasa, 30 Januari 2018

dilema wibawa negara, multipartai vs multipilot



dilema wibawa negara, multipartai vs multipilot

Dikisahkan oleh ki dalang Sobopawon. Agar lebih nyata, ceta wéla-wéla dan terang benderang, maka penuturan kisah diangkat dari kejadian dan perkara yang sedang berjalan. Sesuai dengan periodenya, yaitu éra mégatéga. Bukan rekayasa, bukan modus, bukan sulap, bukan sihir.

Yang mana, daripada siapa yang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, menjabat presiden adalah tak lebih dan tak kurang hanya sebagai petugas partai. Tentunya partai daripada partai pengusungnya di pesta demokrasi 2014.

Sehingga, demokrasi yang katanya terbaik sejak Proklamasi, secara de facto muncul presiden senior. Alkisah dan masih berlangsung adegan, atraksi, acara yang mana sang pembantu presiden berlagak bak presiden.

Ki dalang Sobopawon, berguman lirih, takut disadap bak karet. Hebatnya lagi, puji ki dalang, oknum ketua umum sebuah partai politik memposisikan dirinya sebagai aktor intelektual, sutradara di belakang layar.

Kembali ke pakem. Masih dalam suasana kebatinan ki dalang, sebut saja pasal si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan skenario di pilpres 2019 yang merupakan kelanjutan dari kisah sukses pilkada DKI Jakarta 2012.

Ojo gumunan. Ojo kagètan. Yèn pancèn ing periode 2014-2019 akèh penguwasa sing garang garing. Dengan aji mumpung vs mumpung aji, utawa sikap loyalitas total, total jenderal.

Tak kurang, ujar netral ki dalang, akèh sing wis édan tenan, tetep ora keduman. Nganti intip kuali, kendil dikorèti, entèk tèk.

Jika kita simak rangkaian, runtutan, rentetan bencana politik yang bersumber dari pusat kekuasaan negara, di balik pintu penguasa, sumber segala sumber. Teori secanggih apapun tidak bisa menjawab. Kajian akademis klas dunia hanya bisa memberi komentar datar. Ironis binti tragisnya, mantan pelaku utama sampai pelaku numpang duduk, tidak tahu apa yang telah dilakukannya.

Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang membangkitkan semangat kerakyatan, untuk tetap utuh. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik di luar batas kewajaran, sudah menjadi senjata makan tuan.

Musuh nyata di depan mata, bukan sekedar dari dukun ahli melipatkgandakan uang, tetapi dari dukun politik yang butuh bebanten diri sendiri, keluarga sendiri.

Tapi, ingatkan akan peribahasa jer basuki mawa béa.

Biasanya, manusia dan/atau orang di Indonesia memang sangat tahu rasa berterima kasih. Artinya, jika diberi nikmat dunia oleh penguasa. Kendati pasal berlaku pasal diwènèhi ati ngrogoh rempela. Karena sudah dari sono-nya punya bakat  ésuk dhelé soré témpé.

Akankah di tahun politik 2018, tak disangka mèntal témpé malah disanjung. Namanya politik jenderal. Siap! Siap masuk kubangan bahwasanya yang mana daripada musuh negara vs musuh rakyat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar