Prestasi Atlet vs
Prestise Politisi Sipil
Bisa saja dicarikan
keterkaitannya. Apalagi dengan syahwat politik Nusantara. Ibaratnya, ideologi tak
ada matinya. Pemain tua atau karena olahraga ada yang tak kenal batasan usia,
jender, dan SARA.
Atlet amatir atau profesional, tak
kenal istilah istirahat dalam latihan. Walau tak ada jadwal pertandingan, tetap
berlatih meningkatkan kualitas diri.
Memang disayangkan kalau jabatan
karena hasil pemilu, maksimal dua periode. Pasca itu bisa langsung masuk kotak.
Tak jarang, belum selesai satu periode, langsung masuk kotak.
Apesnya, seperti ditunggu waktu
apesnya. Usai non-kursi tak ayal penegak hukum baru berani bertindak.
Dikabarkan, ada beberapa atlet cabor yang
pernah mengharumkan nama NKRI di panggung internasional, hidupnya jauh dari
masa jayanya.
Seberapa kecil “biaya politik” untuk
mencetak atlet berprestasi. Apakah ada model karena warisan seseorang bisa
menjadi atlet. Tidak perlu merangkak, merintis dari bawah. Bisa, kalau masuk
kategori pemain alam, berbakat sejak dari sono-nya.
Memang banyak partai atlet. Model
klas kampung sampai persatuan nasional. Atlet biasa kalah menang. Punya bakat
untuk kalah dan/atau bakat juara.
Jangan salah kawan. Mantan politisi
sipil dapat mendirikan sekolah politik. Membina bakat politisi sipil sejak
dini. Minimal menurunkan, mewarsikan “ilmu politik”-nya ke anak cucunya. Sudah terbukti
sejak zaman dulu kala. Faktor ajar tidak bisa dianggap rèmèh, èntèng dalam
sistem pendidikan nasional.
Atlet berlaga, berlomba, adu
cepat, kuat, banyak, tinggi, jauh melawan dirinya sendiri. Antar sesama politisi
sipil dilarang saling menjegal, menjagal. Namun demi merebutkan kursi yang
sama, modus, rekayasa apapun menjadi sah, konstitusional. Ini kan karena bahasa
dan kamus politik. Tidak ada istilah kawan main politik. Kawan politik, walau
sedikit tetap diwaspadai. Kalau menghadapi lawan politik, basmi sebelum tunas,
tumbuh. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar