dilema
tahun politik, menunggu waktu vs kehabisan waktu
Pasca dilantik sebagai pejabat publik,
penyelenggara negara, penguasa, maka manusia politik yang terikat kontrak
politik, sudah mulai praktikkan asas calistung (baca, tulis, hitung). Agar jang
sampai terjegal, terjagal, terganjal di tengah jalan. Syukur jangan sampai
sebelum jatuh tempo, masih kuat melaju sampai babak akhir. Babak final atau
finish.
Dukungan tim forensik keuangan untuk
menghitung detil kalkulasi politik. Terinci sampai rupiah, tiga digit di
belakang koma.
Itulah manusia dan/atau orang
Nusantara. Ketika main politik, maka lupa dengan mertua yang sedang bertandang
ke rumahnya. Jangankan sipil, pihak amntan non-sipil alias militer utawa
angkatan bisa mabukdarat, laut, udara dan bhayangkara.
Akhirnya kawanan manusia politik
Nusantara terjebak, berkubang dengan suka cita di antara dua kutub menunggu waktu vs kehabisan waktu.
Yang masih periode pertama, masih
bisa bernafas lega. Atau malah sport jantung. Makan belum habis, sudah mau tambah
porsi ‘nasaku’ (nasi, sayur, kuah), bak di rumah makan Padang yang jual orang
Jawa.
Bagi yang di periode terakhir, atau
kedua, tidak hanya sport jantung. Modus apapun sudah siap dilakukan. Minimal jangan
sampai terjerat pasal yang merugikan negara. Atau begitu sudah masuk kotak,
banyak pihak menggoyang keimanannya.
Karena banyaknya kejadian yang
sedang, masih, dan akan selalu terjadi, maka dipandang tak elok jika
melanjutkan olahkata ini. Mosok, rahasia umu disajikan, sudah basi sebelum
tulisan jadi. Itu saja kawan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar