ketika hukum
politik mendongkrak impor dan pamor pangan
Urusan perut rakyat ketika diangkat
menjadi persoalan bangsa, menjadikan banyak pihak merasa paling berkepentingan.
Seperti lazimnya perebutan daerah basah, maka yang memang adalah manusia
ekonomi.
Bayangan angka menyebabkan mata
hijau. Kalkulasi politik ditentukan oleh
angka ekonomis. Biaya politik atau biaya ekonomi tinggi, manusia politik
semakin terlihat ketidakberdayaannya.
Penguasa memang hanya bisa
berdaya hanya saat menghadapi masyarakat yang kurung beruntung. Menghadapi musuh
rakyat vs musuh negara, terlihat ompongnya atau nyali Rp-nya.
Wajar, jika ketua DPR RI yang
turun pangkat menjadi lembali ke status rakyat jelata. Sedangkan giliran
penggantinya, dengan sistem jatah dan hak Partai Golkar, tentu bukan manusia
miskin.
Maklum, pengusaha politik
merupakan perpaduan manusia politik mengandalkan naluri, insting, bakat
memanfaatkan celah, peluang sekecil apapun. Modus siapa cepat, siapa kuat,
siapa nekat pasti dapat. Semakin mégatéga, pendapatan semakin berlipat.
Asumsi bahwa minimal rakyat NKRI
makan ala ‘4 sehat 5 sempurna’ sehari sekali. Terbayang berapa angka ekonomis
yang menggelinding masuk kantong pribadi.
Penguasa bukannya mengartikan
kedaulatan pangan dikaitkan dengan wibawa negara. Sehingga yang mana dimana
akhirnya, dengan pendekatan hankam maka dapur negara atau tepatnya kursi
kekuasaan aman, stabil dan mensejahterakan sampai akhir periode. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar