Halaman

Sabtu, 27 Januari 2018

ketika hukum politik mendongkrak impor dan pamor pangan



ketika hukum politik mendongkrak impor dan pamor pangan

Urusan perut rakyat ketika diangkat menjadi persoalan bangsa, menjadikan banyak pihak merasa paling berkepentingan. Seperti lazimnya perebutan daerah basah, maka yang memang adalah manusia ekonomi.

Bayangan angka menyebabkan mata hijau.  Kalkulasi politik ditentukan oleh angka ekonomis. Biaya politik atau biaya ekonomi tinggi, manusia politik semakin terlihat ketidakberdayaannya.

Penguasa memang hanya bisa berdaya hanya saat menghadapi masyarakat yang kurung beruntung. Menghadapi musuh rakyat vs musuh negara, terlihat ompongnya atau nyali Rp-nya.

Wajar, jika ketua DPR RI yang turun pangkat menjadi lembali ke status rakyat jelata. Sedangkan giliran penggantinya, dengan sistem jatah dan hak Partai Golkar, tentu bukan manusia miskin.

Maklum, pengusaha politik merupakan perpaduan manusia politik mengandalkan naluri, insting, bakat memanfaatkan celah, peluang sekecil apapun. Modus siapa cepat, siapa kuat, siapa nekat pasti dapat. Semakin mégatéga, pendapatan semakin berlipat.

Asumsi bahwa minimal rakyat NKRI makan ala ‘4 sehat 5 sempurna’ sehari sekali. Terbayang berapa angka ekonomis yang menggelinding masuk kantong pribadi.

Penguasa bukannya mengartikan kedaulatan pangan dikaitkan dengan wibawa negara. Sehingga yang mana dimana akhirnya, dengan pendekatan hankam maka dapur negara atau tepatnya kursi kekuasaan aman, stabil dan mensejahterakan sampai akhir periode. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar