berdiri di atas
kaki, berkata di bawah lidah
Pasti judul dimaksud bukan pepatah,
bukan petuah. Anggap hanya sekedar judul. Gabungan yang nyata dengan yang
memang begitu adanya. Apa mau dikata.
Bahasa menunjukkan bangsa. Logat,
aksén, dialék bahasa menunjukkan asal daerah di Nusantara.
Berbahasa membuktikan isi perut. Bahasa
ucap, tutur, ujar seseorang ada yang tampak spontanitas, seolah cerdas dan
ringan mulut, ringan lidah. Bahasa tulis orang dan/atau manusia yang serba
bebas. Jadi, semakin bebas mengolah kata menunjukkan ketidakbisaan
mengendalikan diri.
Ternyata, peradaban dan
berkemajuan umat manusia ditentukan oleh daya tutur, gaya ujar atau budi
bahasanya.
Bahasa ada tingkatannya,
tergantung penggunaan dan yang siapa yang menggunakannya. Di bahasa Jawa, ada
istilah ngoko sampai dengan kromo inggil. Tapi kalau ada wong Jawa
menggunakan kata kasar, misuh (yang tenar antara lain dengan menyebut nama
fauna) maka diledek sedang memakai gaya bahasa “kromo inggil”.
Sejatinya, diamnya orang yang
diam saat menyikapi keadaan, sebagai ciri kearifannya. Bukan ketidakpedulian. Semakin
tahu dengan fakta atau ayat kauniyah, menjadikan orang semakin bijaksana.
Syahwat politik Nusantara,
menjadikan manusia politik tidak bisa membedakan apakah modus tutur, ucap,
cuap, ujarnya sangat beda dengan kentut, buang gas, buang angin.
Jangan salahkan kalau marak,
beredarnya, merebaknya berita bohong alias hoax akibat ulah panutan. Bagaimana
bahasa penguasa akan berbalik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar