Ketika Rupiah Menjadi Panglima Politik
Praktik demokrasi di NKRI, tidak hanya sekedar suksesnya
pesta demokrasi lima tahunan. Justru bisa dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya pasca pelantikan dan pengambilan sumpah penyelenggara
negara, pejabat publik, penguasa.
Tak salah jika terjadi konlik segitiga. Bahkan posisi
penguasa seolah berada di antara pengusaha dengan rakyat. Sejarah membutkikan,
agaknya penguasa lebih berpihak atau condong ke penguasa.
Fakta ini, sebagai hal yang wajar. Karena berkat dukungan
pengusaha, seorang manusia politik mampu mewujudkan mimpi indahnya. Terukur di
pilkada serentak maupun pemilu legislatif. Bagaimana dengan pilpres, tentunya
yang punya andil bukan pengusaha lokal. Gabungan pengusaha lokal belum ada
apa-apanya dibanding dengan koalisi pengusaha nasional, terlebih pengusaha
multinasional.
Pasca reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei
1998, terlihat betapa pengusaha atau investor politik mancanegara yang mampu
mengendalikan pesta demokrasi. terasa nyata di pesta demokrasi 2014, pemilu legislatif
dan pemilihan presiden.
Tak salah jika peribahasa Jawa bertutur jer basuki
mawa béa. Diperkuat dengan semboyan internasional yaitu no free lunch.
Jangan salahkan kakek nenek moyang kita. Jangan katakana salah
bunda mengandung. Jika menu politik nasakom peninggalan pemerintah Orde Lama,
telah mengalami perubahan bentuk dan penyesuaian diri dengan habitat terbaru.
Ideologi tak ada matinya. Bahkan banyak anak bangsa, putera-puteri
asli daerah, pribumi merasa bangga sebagai anak cucu ideologis. Artinya, berkat
jasa leluhurnya, maka ybs tak pakai keringat sendiri bisa mendapatkan kemuliaan
dunia.
Kamus dan hukum politik mengatakan, semakin tinggi kekuasaan yang
ingin diraih berbanding lurus dengan biaya politik yang harus dikeluarkan. Mulai
dari membeli status nominator pilkada serentak, sudah menyerap biaya yang
argonya bak argo kuda. Soal berapa biaya membeli suara pemilih, menjadi urusan mesin
parpol pengusungnya.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar