Halaman

Rabu, 03 Januari 2018

bahasa penguasa vs bahasa rakyat



bahasa penguasa vs bahasa rakyat

Wajar, manusiawi, masuk akal jika oknum penguasa, apapun levelnya, jika ditanya kasus yang menimpa dirinya atau yang menjadi wewenangnya, dengan enteng akan menjawab : “Saya malah baru tahu dari kamu”. Sebuah jawaban klise, diplomatis, spontas. Dilengkapi dengan mimik muka dan ekspresi jiwa tanpa merasa bersalah sepeserpun.

Apalagi kalau ditanya bagaimana fakta dan realisasi dari janji kampanye utawa program lima tahunnya. Jawabannya hanya terkekeh. Atau menggunakan bahasa dan kamus politik, yang ngomong saja tak tahu maksudnya.

Awak media massa berbayar sekalipun, bisa-bisa memang bisa jenuh menghadapi modus penguasa saat wawancara. Dengan kata sambutan, pidato, orasi atau sebutan lain, sudah dapat diduga proses dan hasil akhirnya. Seperti menonton sinetron yang mengandalkan episode.

Ironis binti miris, menu politik menjadi sajian utama praktik bernegara. Lengkap sudah panggung politik dengan acara banyolan, dagelan, humor politik. Rakyat tidak bisa tertawa lagi. Yang ngomong malah tertawa sendiri. Karena sudah tidak ada lagi yang tepuk tangan, apalagi mentertawakannya.

Kelihatan nyata, betapa sang penguasa bak duduk di kursi panas. Merasa banyak pihak yang menggoyangnya. Merasa bahwa tak ada pihak yang bisa dipercaya menjaga eksistensinya, kecuali dengan. Bak menunggu jatuh tempo.

Rakyat yang bebas publikasi, jauh dari endusan hidung penguasa, dengan menu hariannya. Rakyat tak kenal peluh dan keluh. Babaka kehidupan harian yang turin, tipikal, standar, dilakoninya dengan hati dan jiwa tenang. Mau apa lagi. Mau buka suara, takut mendapat stigma merongrong wibawa negara. Apalagi protes secara masal, unjuk rasa dan unjuk raga turun gunung.

Akhirnya rakyat memang lebih suka diam, berdoa. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar