bahasa
penguasa vs bahasa rakyat
Wajar, manusiawi, masuk akal jika
oknum penguasa, apapun levelnya, jika ditanya kasus yang menimpa dirinya atau
yang menjadi wewenangnya, dengan enteng akan menjawab : “Saya malah baru tahu
dari kamu”. Sebuah jawaban klise, diplomatis, spontas. Dilengkapi
dengan mimik muka dan ekspresi jiwa tanpa merasa bersalah sepeserpun.
Apalagi kalau ditanya bagaimana
fakta dan realisasi dari janji kampanye utawa program lima tahunnya. Jawabannya
hanya terkekeh. Atau menggunakan bahasa dan kamus politik, yang ngomong saja
tak tahu maksudnya.
Awak media massa berbayar sekalipun,
bisa-bisa memang bisa jenuh menghadapi modus penguasa saat wawancara. Dengan kata
sambutan, pidato, orasi atau sebutan lain, sudah dapat diduga proses dan hasil
akhirnya. Seperti menonton sinetron yang mengandalkan episode.
Ironis binti miris, menu politik menjadi
sajian utama praktik bernegara. Lengkap sudah panggung politik dengan acara
banyolan, dagelan, humor politik. Rakyat tidak bisa tertawa lagi. Yang ngomong
malah tertawa sendiri. Karena sudah tidak ada lagi yang tepuk tangan, apalagi
mentertawakannya.
Kelihatan nyata, betapa sang
penguasa bak duduk di kursi panas. Merasa banyak pihak yang menggoyangnya. Merasa
bahwa tak ada pihak yang bisa dipercaya menjaga eksistensinya, kecuali dengan. Bak
menunggu jatuh tempo.
Rakyat yang bebas publikasi, jauh
dari endusan hidung penguasa, dengan menu hariannya. Rakyat tak kenal peluh dan
keluh. Babaka kehidupan harian yang turin, tipikal, standar, dilakoninya dengan
hati dan jiwa tenang. Mau apa lagi. Mau buka suara, takut mendapat stigma
merongrong wibawa negara. Apalagi protes secara masal, unjuk rasa dan unjuk
raga turun gunung.
Akhirnya rakyat memang lebih suka
diam, berdoa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar