Halaman

Selasa, 23 Januari 2018

Anomali Tahun Politik, Kue Nasional vs Sampah Masyarakat



Anomali Tahun Politik, Kue Nasional vs Sampah Masyarakat

Ternyata ‘penyakit masyarakat’ menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

Konon, yang dimaksud dengan ‘sampah masyarakat’ – karena dianggap menistakan martabat bangsa, wibawa negara serta citra pesona penguasa – maka dihapus dari kamus dan bahasa politik.

Dalam praktik kebangsaan, lema ‘sampah masyarakat’ berkonotasi sama halnya dengan pahlawan partai. Maksudnya. Sudah menjadi bubur.

Mengandalkan kinerja Pemerintah, daya bakti Polri dan perangkat negara lainnya, isu LGBT semakin dibahas malah semakin bernas. Malah mendapat hati dan kursi. Apalagi menyangkut kepentingan dan konspirasi internasional, posisi Indonesia selain tidak mempunyai posisi tawar, juga tak dianggap. Di tingkat ASEAN, gaung, gema NKRI hanya dianggap angin lalu.

Seminar luar biasa, atau bahkan fatwa semua agama, tak akan mempan membendung tumbuh kembangnya tindakan perlilaku LGBT.

Di tahun politik 2018 dan 2019, kejahatan LGBT tidak masuk kejadian luar biasa. Pemerintah tidak perlu impor hukum negara lain. Modus toleransi atas keberagaman sudah teruji.

Justru, kita serahkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengambil langkah antisipatif dan langkah nyata lainnya. Penanggulangan/pemberantasan LGBT tidak bisa digeneralisir, kendati masuk kategori penyakit dunia, penyakit masyarakat internasional. Harus dilakukan serentak dari bawah. Pemerintah sudah super sibuk mengatur perilaku penyimpangan politik dan kehilangan orientasi politik Nusantara. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar