Anomali Tahun
Politik, Kue Nasional vs Sampah Masyarakat
Ternyata ‘penyakit masyarakat’
menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita simak UU
2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan
Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat"
antara lain pengemisan dan pergelandangan,
pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan
manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.
Konon, yang dimaksud dengan ‘sampah
masyarakat’ – karena dianggap menistakan martabat bangsa, wibawa negara serta
citra pesona penguasa – maka dihapus dari kamus dan bahasa politik.
Dalam praktik kebangsaan, lema ‘sampah
masyarakat’ berkonotasi sama halnya dengan pahlawan partai. Maksudnya. Sudah menjadi
bubur.
Mengandalkan kinerja Pemerintah, daya
bakti Polri dan perangkat negara lainnya, isu LGBT semakin dibahas malah
semakin bernas. Malah mendapat hati dan kursi. Apalagi menyangkut kepentingan
dan konspirasi internasional, posisi Indonesia selain tidak mempunyai posisi
tawar, juga tak dianggap. Di tingkat ASEAN, gaung, gema NKRI hanya dianggap angin
lalu.
Seminar luar biasa, atau bahkan
fatwa semua agama, tak akan mempan membendung tumbuh kembangnya tindakan
perlilaku LGBT.
Di tahun politik 2018 dan 2019,
kejahatan LGBT tidak masuk kejadian luar biasa. Pemerintah tidak perlu impor
hukum negara lain. Modus toleransi atas keberagaman sudah teruji.
Justru, kita serahkan kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk mengambil langkah antisipatif dan langkah nyata
lainnya. Penanggulangan/pemberantasan LGBT tidak bisa digeneralisir, kendati
masuk kategori penyakit dunia, penyakit masyarakat internasional. Harus
dilakukan serentak dari bawah. Pemerintah sudah super sibuk mengatur perilaku
penyimpangan politik dan kehilangan orientasi politik Nusantara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar