mempolitisasi
berita olahraga vs mengolahragakan derita politisi
Ingat semboyan presiden kedua RI,
yaitu memasyarakatkan olahraga vs mengolahragakan masyarakat. Kalau tak salah
lupa, tahun 1985 Indonesia mendapat penghargaan dari badan pangan dunia, karena
mampu swasembada pangan.
Nusantara pernah dilanda deman bulu
tangkis. Anak-anak main badminton di jalan, di gang. Tidak punya raket, pakai
apa saja, asal bisa untuk memukul.
Cabang olahraga yang mampu
mengharumkan nama harum Indonesia, mungkin kalah dengan karut-marut sepak bola
nasional. Dengan sepak bola lahirlah generasi bonek.
Asumsi asal-asalan, kalau mau lihat
peta militer sebuah negara, bisa dilacak dari peta olahraganya. Kalau sekedar
iseng mau tahu tingkat kesejahteraan rakyat, kecerdasan bangsa, wibawa negara,
bisa dilihat jumlah partai politiknya.
Kiat sukses membentuk allet dengan
SOP mencetak sosok serdadu, seperti setali tiga uang. Peran cerdas yang di atas
rata-rata, sangat membantu proses.
Lain ladang, lain belalang, walu
sama ilalang. Kata yang empunya cerita, untuk menjadi petugas partai, tak perlu
IPK yang memenuhi syarat mendaftar PNS atau melamar pekerjaan.
Maju jadi presiden dan/atau wakil
presiden di plipres, cukup bermodal ijazah SMA atau yang sederajat. Atau hasil
Paket Kejar.
Ideologi tak ada matinya. Hanya
mengalami pasang surut. Kembang susut seusai peradaban dan kemajuan waktu.
Untuk menampilkan politisi yang siap
laga, siap unggul bisa tanpa biaya. Biaya, ongkos, dana yang dibutuhkan adalah
saat antar politisi bersaing memperebutkan kekuasaan secara legal, sah, konstitusional.
Di Nusantara, dengan modal nama
besar kakek nenek moyangnya, anak bangsa bisa langsung melejit. Tak perlu mulai
dar “0” (nol) atau merangkak dari bawah untuk menjadi politisi.
Tak salah, jika kawanan parpolis
dicetak oleh zaman.
Pokoknya menang. Makanya mental
petugas partai hanya tahunya menang. Siap menang dan siap kuasa. Pasal atau
dalil modus, rekayasa apapun, siap dijalankan dengan seksama.
Apa bedanya, politisi yang tahan
lama dengan politisi yang sekali main, langsung ambruk, masuk kotak. Jangan disangkutpautkan
dengan semboyan “tinggal gelanggang, colong playu”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar