Halaman

Senin, 29 Januari 2018

mempolitisasi berita olahraga vs mengolahragakan derita politisi



mempolitisasi berita olahraga vs mengolahragakan derita politisi

Ingat semboyan presiden kedua RI, yaitu memasyarakatkan olahraga vs mengolahragakan masyarakat. Kalau tak salah lupa, tahun 1985 Indonesia mendapat penghargaan dari badan pangan dunia, karena mampu swasembada pangan.

Nusantara pernah dilanda deman bulu tangkis. Anak-anak main badminton di jalan, di gang. Tidak punya raket, pakai apa saja, asal bisa untuk memukul.

Cabang olahraga yang mampu mengharumkan nama harum Indonesia, mungkin kalah dengan karut-marut sepak bola nasional. Dengan sepak bola lahirlah generasi bonek.

Asumsi asal-asalan, kalau mau lihat peta militer sebuah negara, bisa dilacak dari peta olahraganya. Kalau sekedar iseng mau tahu tingkat kesejahteraan rakyat, kecerdasan bangsa, wibawa negara, bisa dilihat jumlah partai politiknya.

Kiat sukses membentuk allet dengan SOP mencetak sosok serdadu, seperti setali tiga uang. Peran cerdas yang di atas rata-rata, sangat membantu proses.

Lain ladang, lain belalang, walu sama ilalang. Kata yang empunya cerita, untuk menjadi petugas partai, tak perlu IPK yang memenuhi syarat mendaftar PNS atau melamar pekerjaan.

Maju jadi presiden dan/atau wakil presiden di plipres, cukup bermodal ijazah SMA atau yang sederajat. Atau hasil Paket Kejar.

Ideologi tak ada matinya. Hanya mengalami pasang surut. Kembang susut seusai peradaban dan kemajuan waktu.

Untuk menampilkan politisi yang siap laga, siap unggul bisa tanpa biaya. Biaya, ongkos, dana yang dibutuhkan adalah saat antar politisi bersaing memperebutkan kekuasaan secara legal, sah, konstitusional.

Di Nusantara, dengan modal nama besar kakek nenek moyangnya, anak bangsa bisa langsung melejit. Tak perlu mulai dar “0” (nol) atau merangkak dari bawah untuk menjadi politisi.

Tak salah, jika kawanan parpolis dicetak oleh zaman.

Pokoknya menang. Makanya mental petugas partai hanya tahunya menang. Siap menang dan siap kuasa. Pasal atau dalil modus, rekayasa apapun, siap dijalankan dengan seksama.

Apa bedanya, politisi yang tahan lama dengan politisi yang sekali main, langsung ambruk, masuk kotak. Jangan disangkutpautkan dengan semboyan “tinggal gelanggang, colong playu”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar