politik puritan nusantara,
ketergantungan pada sejarah masa lalu
Bangsa besar mempunyai sejarah besar. Termasuk RI yang
mampu memerdekaan diri dari penjajahan oleh bangsa asing. Pengalaman hidup dijajah
kongsi dagang, di bawah kendali bangsa asing, mempertahankan kemerdekaan
menghadapi agresi militer negara lain, menjadikan inspirasi, ilham pernyataan
alinea pertama Pembukaan (preambule) UUD NRI
1945, tersurat:
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.
Permasalahan berbangsa dan bernegara, menjadi masalah
menerus, berulang tipikal, monoton, balik dan atau ganti nama, berkelanjutan
dan selalu teranyarkan setiap periode pemerintah. Anak cucu pelaku sejarah masih merasa berhak
menentukan sejarah lanjutan.
Selaku bangsa besar karena jumlah populasi penduduk nomor
empat dunia, efek domino alih peradaban, dari sistem feodal langsung masuk kata
sistem pemodal. Secara sadar diri anak bangsa pribumi nusantara menyandang majority
with minority mentality (mayoritas tetapi dengan mental minoritas). Bukan
karena tidak percaya diri. Terbukti di tahun politik 2018 dan 2019, bagaimana
lagak bin galak kawanan loyalis penguasa menghadapi frontal lawan politik atau
pihak beda pilihan.
Perputaran roda ekonomi didominasi oleh kelompo minoritas.
Kawanan minoritas mampu menguasai mayoritas aset ekonomi nusantara. Efek logis,
manusia ekonomi atau pengusaha semiglobal, multinasional mampu mendikte idustri
politik. Biaya politik menjadi penentu kisah sukses penguasa.
Mengaca dan mengacu kehidupan masa lalu sebagai
pelajaran. Mau melaju ke masa depan jangan mengandalkan kaca spion. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar