generasi hang vs
generasi error
Bincang generasi kali ini, tak terkait batasan
umur. Pokoknya siapa saja yang masih doyan nasi. Tepatnya malah terkait,
terikat dengan fase keterbelakangan mental perpolitikkan nusantara. Disarikan dari
kejadian perkara, peristiwa rasa nasionalisme menghadapi lawan beda pilihan.
Secara awam, dapat kita petakan menjadi tiga
karakter. Pertama yaitu berbentuk ketahanan mental loyalitas semu berbasis ‘penguasa yang dianggap sebagai
kebenaran tunggal’; Kedua perlawanan melalui media massa non-arus utama berupa
teror ujaran kepada masyarakat yang telah mereka anggap sebagai lawan politik;
dan ketiga berupa basis suara menyulap daerah pilihan untuk menguasai teritori
tertentu.
Masa radikal bersemboyan pendulum politik
nusantara, kridha lumahing asta vs pejah gesang ndèrèk panguwasa. Sabar bukan berarti pasif, menerima keadaan apa
adanya, adanya apa, duduk manis. Hati tetap berproses dan memproses tindakan
nyata ke depan. Mawas diri siap telan “pil sabar” juga sigap telan “pil pahit”.
Sentimen solidaritas dan intoleransi pemikiran,
ucapan, tindakan dan sikap ekstrem
lainnya disajikan dan disebarkan secara massif liwat media massa non-arus utama.
Kawanan loyalis penguasa secara aktif mengelola ruang penabur dan penebar data
sebagai propaganda, promosi, provokasi.
Selingan anatar acara, mentalitas pemuda nusantara,
ujung jari vs ujung lidah. Tak ada beda antara kawanan yang sarat makan bangku
dengan kelompok yang sekolah alam di jalanan. Bertemu di satu wadah untuk unjuk
kata. Ini saja, kalau kelebihan muatan akan memancing fitnah dunia.
Adalah generasi medsos korban ujung jari tangan
sendiri. Keblusuk secara sadar diri, mapan diri berkelanjutan dalam
memanfaatkan media sosial. Maunya sok tahu, sok gagah tampil diri liwat aneka
ujaran kebencian, kebohongan, penistaan diri. Sudah diduga hasilnya yaitu tidak
ada manfaat. Bahkan menggerogoti jatah jiwa harian.
Dilema kepancasilaan generasi ujung jari, agak
miring vs kurang lurus. Namun, tak perlu disayangkan. Olah jiwa, tata jiwa,
terapi jiwa anak bangsa pribumi yang ramah teknologi – khususnya TIK – semakin
menambah kompleksitas duka bangsa. Vitalitas generasi ujung jari nusantara
kelebihan energi kendali diri, bau kencur vs bau tanah. Menggunakan pendekatan
sejarah kritis. Penggunaan teknologi anjuran dalam ujaran bebas di media
sosial, melipatkan keuntungan ganda yang lebih tinggi daripada teknologi
literasi beradab.
Bencana politik nusantara mengalami transformasi
menjadi malapetaka. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar