Halaman

Senin, 04 Mei 2020

generasi hang vs generasi error


generasi hang vs generasi error

Bincang generasi kali ini, tak terkait batasan umur. Pokoknya siapa saja yang masih doyan nasi. Tepatnya malah terkait, terikat dengan fase keterbelakangan mental perpolitikkan nusantara. Disarikan dari kejadian perkara, peristiwa rasa nasionalisme menghadapi lawan beda pilihan.

Secara awam, dapat kita petakan menjadi tiga karakter. Pertama yaitu berbentuk ketahanan mental loyalitas  semu berbasis ‘penguasa yang dianggap sebagai kebenaran tunggal’; Kedua perlawanan melalui media massa non-arus utama berupa teror ujaran kepada masyarakat yang telah mereka anggap sebagai lawan politik; dan ketiga berupa basis suara menyulap daerah pilihan untuk menguasai teritori tertentu.

Masa radikal bersemboyan pendulum politik nusantara, kridha lumahing asta vs pejah gesang ndèrèk panguwasa. Sabar bukan berarti pasif, menerima keadaan apa adanya, adanya apa, duduk manis. Hati tetap berproses dan memproses tindakan nyata ke depan. Mawas diri siap telan “pil sabar” juga sigap telan “pil pahit”.

Sentimen solidaritas dan intoleransi pemikiran, ucapan, tindakan  dan sikap ekstrem lainnya disajikan dan disebarkan secara massif liwat media massa non-arus utama. Kawanan loyalis penguasa secara aktif mengelola ruang penabur dan penebar data sebagai propaganda, promosi, provokasi.

Selingan anatar acara, mentalitas pemuda nusantara, ujung jari vs ujung lidah. Tak ada beda antara kawanan yang sarat makan bangku dengan kelompok yang sekolah alam di jalanan. Bertemu di satu wadah untuk unjuk kata. Ini saja, kalau kelebihan muatan akan memancing fitnah dunia.

Adalah generasi medsos korban ujung jari tangan sendiri. Keblusuk secara sadar diri, mapan diri berkelanjutan dalam memanfaatkan media sosial. Maunya sok tahu, sok gagah tampil diri liwat aneka ujaran kebencian, kebohongan, penistaan diri. Sudah diduga hasilnya yaitu tidak ada manfaat. Bahkan menggerogoti jatah jiwa harian.

Dilema kepancasilaan generasi ujung jari, agak miring vs kurang lurus. Namun, tak perlu disayangkan. Olah jiwa, tata jiwa, terapi jiwa anak bangsa pribumi yang ramah teknologi – khususnya TIK – semakin menambah kompleksitas duka bangsa. Vitalitas generasi ujung jari nusantara kelebihan energi kendali diri, bau kencur vs bau tanah. Menggunakan pendekatan sejarah kritis. Penggunaan teknologi anjuran dalam ujaran bebas di media sosial, melipatkan keuntungan ganda yang lebih tinggi daripada teknologi literasi beradab.

Bencana politik nusantara mengalami transformasi menjadi malapetaka. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar