tempat praktik hukum tak
bertuan
Hukum yang ada di nusantara, tanpa kamus hukum sudah paham adanya paham Res
Nullius (Latin) atau Ownerless (Inggris). Maksud baik dan niat
mulia, pemahaman untu memahami bahwa ada benda konkrit, kasat mata, mawujud
maupun benda abstrak, imajiner yang tidak mempunyai suatu bentuk hak untuknya. Tidak
ada pasal kepemilikan atasnya. Kecuali menjadi milik yang menemukan pertama
kali. Bukan berarti pihak manapun bebas merasa memilikinya.
Hukum alam selama belum berlaku hukum buatan manusia, masih layak pakai,
layak terap dan alami. Norma hukum yang menjadi kendali, kontrol moral
masyarakat bisa kalah pamor. Dalih dan dalil kepentingan umum, maka dimunculkan
hukum atau kebijakan dinamis, kondisional serta bertarif dasar maupun tarif komersial
plus tarif progresif.
Dinamika istilah, ungkapan, semboyan, filosofi ‘hukum tak bertuan’ mendapat
imbangan ‘hukum terlantar’. Kian membuktikan siapa pihak yang mampu menetapkan
hukum akan menjadi penghukum. Bahasa miringnya, menjadi pengauasa atau segala
penguasa dejure maupun defacto.
Rumusan hukum di nusantara sudah mampu melampaui kebutuhan dan tantangan tatanan
adab berbangsa dan bernegara. Konstitusi yang menjadi hukum politik kian
memantapkan diri. Jaga jarak aman dengan segala kemungkinan daya kritis obyek
hukum.
Masuk batasan berguna, bermanfaat bagi tanah-air. Pada kesimpulan akhir
harus punya bak berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuas) plus K (kursi). Pada umumnya,
hukum merupakan simpul akhir atas aneka kejadian, peristiwa, perkara dengan
hasil akhir, konvergensi, dampak yang sama. Beda atau keterbalikan 180 derajat,
kontradiksi dengan hukum nasional nusantara.
Tak salah memang terjadinya begitu, bahwasanya hukum di Indonesia untuk
menghukum. Sisi lain sebagai biang segala biang kasus. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar