covid-19 lenyap, padahal
tak punya sayap
Anak bangsa pribumi nusantara, terbiasa menghadapi
lawan politik. Terasa menjadi menu laga harian di era presiden RI ketujuh. Siapa
melawan siapa, tergantung skenario. Siapa menjadi apa tak luput dari konspirasi
mondial, efek karambol globalisasi. Ruang gerak perebutan kursi negara
multipartai sudah bisa ditebak sejak awal.
Pesta demokrasi daripada Suharto, sebelum pelaksaan
coblosan sudah diketahui babak final. Pemilu betul-betul menjadi formalitas
berbangsa dan bernegara. Kehidupan bermasyarakat tak luput dari ramuan politik.
Tak akan habis dibahas. Disertasi atau pengamatan pihak asing nyaris lomba adu
nyali.
Bak Indonesia di bawah tempurung politik nusantara.
Paham versi awam, bahwasanya covid-19 bukan senyawa kimiawi produk laboratorium
kriminal negara superpenduduk. Tidak masuk kategori senjata konvensioanal
pemusnah massal. Daya jangkaunya tak kenal kawan, tak mau tahu sekutu atau
seteru.
Selaku negara demokratis, selain pada wujud
multipartai, anak kemarin sore pun bisa mempengaruhi proses kebijakan nasional.
Efektivitas satu data dipakai secara massal, bukti ringan betapa bangsa manusia
bebal kian berakal kian banyak akal.
Sesi selingan pereda tensi. Komoditas politik ulama
nusantara, tahan lama vs habis pakai. Kutak tahu saja atau kutak tahu banget.
Nyatanya demikianlah faktamorgana atau isu nasional. Julukan ulama nusantara
menunjukkan skala daya juang, daya siap tanding, sigap banting, siaga sanding.
Skenario daya saing ujung-ujungnya malah menjadi daya kesiangan.
Éra anéka mégatéga menghadirkan suasana batin
sehingga kawah candradimuka tahun politik 2018 dan 2019, menjadikan putra-putri
asli daerah bebas saling libas. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar