ketika wong cilik
menjadi minoritas di kampung halaman sendiri
Minoritas bukan karena jumlah yang sedikit, minim dan dapat diabaikan atau
tidak dapat mempengaruhi keseimbangan. Kendati berat logam mulia 1 kg, ternyata
waktu ditimbang ulang dan disaksikan oleh alat negara terutama polisi ekonomi,
berat tercatat 999 gram. Seolah hanya kurang 1 gram, tetap tak bisa disebut,
dibilang 1 kg.
Nada minor ditujukan kepada eksistensi kalangan minoritas. Sebuatan inferior,
marginal, papan bawah, rakyat jelata menjadi padanan kata ‘minoritas’. Sejarah peradaban
manusia punya bukti beda, bukti lain. Atau malah setiap kejadian akan beriringan,
berpasangan dengan kejadian setangkup. Aneka proses dalam waktu yang sama.
Falsafah homo homini socius yang mendasari kehidupan
harian menjadi adat gotong royong, kerjasama, saling menguatkan secara
sinergitas. Menekankan pada hakikat
bahwa manusia selaku makhluk sosial.
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
dijelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Akhirnya, sistem multipartai menjadikan gagal mental sejak dini atau bahkan
menjadi ciri baku manusia politik. Mental mendasar yang menjadi fundamental
selaku makhluk politik adalah pemangsa segala.
Status sosial yang agaknya dengan penyandang atau peminat banyak, adalah
status sosial sekaligus status pilitik bersebut ‘wong cilik’. Jadi justru
jumlahnya melebihi kuota. Keberadaan wong cilik memang serba cilik. Hak politik
sudah tergadaikan.
Ketika wong cilik pulang kampung halaman, sesama wong cilik satu kampung,
tetap minoritas. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar