Halaman

Sabtu, 30 Mei 2020

dilema hak berpancasila, politik sehat vs sehat politik


dilema hak berpancasila, politik sehat vs sehat politik

Ketika perkembangan ilmu politik banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, pusat perhatian utama adalah negara, yang dikenal sebagai tradisi yuridis formal. Tradisi ini terutama berkembang di Jerman, Austria dan Prancis. Sedangkan di Inggris, perkembangan ilmu politik banyak dipengaruhi oleh filsafat moral. Prancis dan Inggris memang kemudian menjadi ujung tombak dalam perkembangan ilmu politik sebagai disiplin tersendiri, setelah dibentuknya Ecole Libere des Sciences Politiques di Perancis (1870) dan London School of Economics and Political Science di Inggris (1895).

Tradisi yuridis formal yang dipengaruhi oleh ilmu hukum ini juga mempengaruhi kajian ilmu politik Indonesia. Melalui sarjana-sarjana Belanda misalnya, tradisi ini membekas pada sebagian besar pemikiran tokoh-tokoh pergerakan nasional. Mereka ini memperoleh pengetahuan politik dari mata kuliah ilmu negara maupun karya-karya dari tokoh-tokoh seperti: R. Kranenburg dan Logemann.

(sumber: Modul 1 “Ilmu Politik: Ruang Lingkup dan Konsep”, Prof. Miriam Budiardjo, dkk)


Pasca bergulirnya reformasi mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, bertaburan ratusan parpol di bumi Pancasila. Umur teknisnya ada yang hanya semusim pemilu. Parpol kelanjutan zaman Orde Lama maupun Orde Baru, masih bisa eksis. Bukti historis, ideologi tak ada matinya. Anak cucu pewaris darah ideologi. merasa menemukan jalan yang benar, jalan yang lurus. Tak perlu merintis dari nol dan makan keringat sendiri. Merasa pewaris kursi notonegoro kian balik adab.

Baik atau buruk;  benar atau salah; betul atau keliru; bagus atau buruk berdasarkan demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas. Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih untuk kepentingan penguasa. Bukan sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat.

Moral tanpa politik buta sepihak, politik tanpa moral membabi buta. Judul merupakan kesimpulan dari kejadian nyata, praktik demokrasi ataupun modus operandi manusia politik. Sehingga tak perlu dibuktikan. Jangan lupa fakta, pelaku politik nusantara tidak didominasi oleh kawanan atau oknum politisi sipil. Pelajaran ‘Pancasila Sakti’ penguasa tunggal Orde Baru dan dua periode SBY menambah catatan khusus. Memperpanjang modul pembelajaran dan pendidikan politik praktis.

Piramida struktur kekuasaan, semakin runcing. Kian runcing, tapi tumpul dalam skala global. Ahirnya struktur puncak menjadi rentan, riskan, rawan. Namanya politik, yang haram asal konstitusional, tidak bisa dipidanakan. Yang tak masuk akal, namun sesuai kamus politik, menjadi lagu wajib. Semua kejadian ini berlangsung di periode presiden ketujuh RI.

Sekaliber petugas partai sampai dua jilid, kian membuktikan politik sebagai panglima. Atas nama (partai) politik, menghalalkan segala bentuk manipulasi, serba rekayasa fakta,  aneka cara modus koalisi, maupun bentukan lain biaya politik. Tenaga dalam negeri kurang manjur, sah-sah saja pakai jurus cakar naga.

Ada tidaknya demokrasi, seperti apa demokrasi yang ada, tersedia. Lacak pada praktik semu demokrasi multipartai. Partai politik lokal sampai eksistensi elite lokal mampu menentukan pilkada. Laik tanding antar partai politik malah menambah besaran pasar biaya politik. Serangan fajar plus pengelembungan suara hasil pungutan suara, bukti lain praktik demokrasi.

Tanpa himbauan pihak mana pun, sudah terjadi perilaku hidup swadési. Alias gerakan nyata menggunakan produk bangsa sendiri. Interaksi antara  modal sosial dengan perwujudan masyarakat sipil, masyarakat sosial dan identitas manusia sosial. Kesemuanya akan menentukan praktik nyata demokrasi.

Diléma moral Pancasila, jenuh pedoman vs hampa panutan. Tak ada yang salah dengan Pancasila. Bisa dikaburkan, bisa memang dijadikan budaya luhur. Rakyat tak pernah memusingkan diri dengan pengejawantahan Pancasila. Sila-sila Pancasila ada disekeliling kehidupan harian.

Manusia politik yang terjebak kebijakan partai. Sejatinya adalah aneka pribadi yang sedang aktif mengkerdilkan diri. Suasana kebatinan berbasis fakta satu pintu, “moral politik rubuh-rubuh gedhang Nusantara, pendhèrèk vs nganthèk”. Modal utama cukup dengan modal loyal total. Tak perlu berpihak pada nilai luhur kemanusiaan. Tak perlu pura-pura loyal karena perwatakan.

Oknum ketua umum yang nyaris seumur hidup. Pola alih peran, kaderisasi akan jalan di tempat. Tak heran, siapa saja asal kuat bayarannya, penyandang nama komersial, tukang tapi punya massa bayaran, bisa langsung jadi elie partai. Atau mendapat nomer jadi saat pesta demokrasi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar