Halaman

Kamis, 21 Mei 2020

dibedil Londo mati numpak kursi


dibedil Londo mati numpak kursi

Bukan dan bahkan jauh dari ramalan atau pratanda zaman, mitos atau mistis. Aroma bahasa daerah karena mudah dicerna tanpa olah pikir. Bagi penyuka aplikasi gaya “tembak di tempat” bak diingatkan. Diterapkan pada laga kehidupan harian, menjadi laku multiaksi. Figuran, numpang aksi tak mau kalah gengsi.

Pengalaman teoritis maupun empiris, tidak serta merta menjadi bahan ajar alami. Manusia gemar membuat aturan sendiri. Tahu malah berat diongkos, manusia tetap saja hobi eksperimen taruhan masa depan bangsa. Kian merasa cerdas kian maunya adu argumen.

Periode bernegara bercermin bangkai demokrasi multipartai serba kursi.  Pepatah lama, lawas tapi masih nikmat di masa kini, “belum meminang sudah menimang”. Bahasa Jawa halusnya, durung-durung wis ngarani. Tak ada ikhwal baru dalam kehidupan di akhir hayat. Semua sudah tercatat. Tinggal bagaimana kita manusia menjalankan, melakoni tatanan yang sudah tertata. Sabar di suratan nasib yang sudah tersurat.

Asas konsistensi logikal tunas bangsa akar rumput berbuah gaya santai menganalogikan dan daya semu berinterpretasi semua urusan hidup. Rekadaya bagi-bagi kursi, politik prostitusi vs prostitusi politik. Ternyata tidak hanya rakyat penyandang kemiskinan turunan, rumah tangga pewaris garis keimiskinan yang gemar forum, penyuka ajang bergengsi berlabel ‘bagi sembako gratis’. Dalih dan momentum apa saja. Utamakan publikasi dan dampak manfaat nyata bagi tukang bagi, juru bagi.

Ungkapan “mencerdaskan kehidupan bangsa” cuplikan dari Pembukaan (preambule) UUD NRI 1945, terkesan kapan-kapan. Belanda masih jauh vs China semangkin angkuh. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar