dibedil Londo mati numpak kursi
Bukan dan bahkan jauh dari ramalan atau pratanda zaman, mitos atau mistis. Aroma
bahasa daerah karena mudah dicerna tanpa olah pikir. Bagi penyuka aplikasi gaya
“tembak di tempat” bak diingatkan. Diterapkan pada laga kehidupan harian,
menjadi laku multiaksi. Figuran, numpang aksi tak mau kalah gengsi.
Pengalaman teoritis maupun empiris, tidak serta merta menjadi bahan ajar
alami. Manusia gemar membuat aturan sendiri. Tahu malah berat diongkos, manusia
tetap saja hobi eksperimen taruhan masa depan bangsa. Kian merasa cerdas kian
maunya adu argumen.
Periode bernegara bercermin bangkai demokrasi multipartai serba kursi. Pepatah lama, lawas tapi masih nikmat di masa
kini, “belum meminang sudah menimang”. Bahasa Jawa halusnya,
durung-durung wis ngarani. Tak ada ikhwal baru dalam kehidupan di akhir hayat. Semua sudah tercatat.
Tinggal bagaimana kita manusia menjalankan, melakoni tatanan yang sudah
tertata. Sabar di suratan nasib yang sudah tersurat.
Asas konsistensi logikal tunas bangsa akar rumput berbuah gaya santai
menganalogikan dan daya semu berinterpretasi semua urusan hidup. Rekadaya
bagi-bagi kursi, politik prostitusi vs prostitusi politik. Ternyata tidak hanya
rakyat penyandang kemiskinan turunan, rumah tangga pewaris garis keimiskinan
yang gemar forum, penyuka ajang bergengsi berlabel ‘bagi sembako gratis’. Dalih
dan momentum apa saja. Utamakan publikasi dan dampak manfaat nyata bagi tukang
bagi, juru bagi.
Ungkapan “mencerdaskan kehidupan bangsa” cuplikan dari Pembukaan
(preambule) UUD NRI 1945, terkesan kapan-kapan. Belanda masih jauh vs China
semangkin angkuh. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar