Halaman

Senin, 18 Mei 2020

gaul demokrasi nusantara boros kursi


gaul demokrasi nusantara boros kursi

Istilah ‘kedaulatan rakyat’ sudah tersurat di alinea keempat Pembukaan (preambule) UUD NRI  1945, walau tidak ditayangkan utuh, hanya sebagai bukti ringan:
“ . . . . . ,sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada . . . “

Bagi warga Yogyakarta – kota maupun provinsi DIY – kenal sebutan KR atau kedaulatan rakyat sebagai surat kabar lokal. Asumsi historis dengan gamblang benderang  menjelaskan bahwasanya bahan baku sila-sila Pancasila digali dari menu harian rakyat. Menjadi praktik harian masyarakat. Masih terasa nyata di kehidupan bermasyarakat rakyat papan bawah, akar rumput.

Lain niat, jerih payah politisi berhasil melakukan Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 pada tahun 2001, dua ayat ditambahkan pada Pasal 1. Fokus pada ayat (2), tersurat:

Pasal 1
(2)         Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Kata, lema ‘rakyat’ terasa berderajat, bermartabat plus naik gengsi dengan sebutan MPR dan DPR. Simpul awam memang terjadi demokrasi perwaklian vs demokrasi tanpa perantara. Jam bicara wakil rakyat tergantung masa reses. Wajar jika kawanan, komisi DPR gemar rapat dengar pendapat dengan pihak lawan.

Partisipasi, peran serta, keikutsertaan, kepedulian rakyat terhadap gerakan politik tak diimbangi dengan sikap positif penguasa, penyelenggara negara.  Suara rakyat dimanipulasi sesuai asas demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.

Aspek kebahasaan sudah jelas bahwa Pasal 1 ayat (2) tak ada kewajiban menetapkan UU tentang Kedulatan Rakyat. Jangan sampai nantinya malah menjadi batu sandungan, median jalan, démarkasi kekebasan berpolitik secara manusiawi dan bermartabat manusia seutuhnya.

Organisasi kemasyarakatan dan atau partai politik, menjadi wadah berdemokrasi skala lokal maupun nasional. Antara ormas dengan parpol bisa seolah beda mazhab, lain kasta. Masing-masing punya anggota, kader, massa loyal sampai fanatik. Walau mungkin belum mengalahkan fans klub bola daerah.

Maraknya warung politik atau parpol sebagai pratanda. Tak jauh-jauh dari makna kendaraan politik yang sukses dengan mensuksesan penguasa tunggal Orde Baru menjadi jawara 6x pesta demokrasi daripada Suharto alias pemilu.

Bukti lain kemanfaatan parpol adalah menjadi usaha profitable, komersial, sumber makmur dan sejahtera. Praktik demokras perwakilan vs demokrasi tanpa perantara, merujuk pemerataan. Setiap pantat manusia politik yang pakai pasal biaya politik, ongkos politik seolah wajib mendapat kursi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar