gaul demokrasi nusantara boros kursi
Istilah ‘kedaulatan rakyat’ sudah tersurat di
alinea keempat Pembukaan (preambule) UUD NRI
1945, walau tidak ditayangkan utuh, hanya sebagai bukti ringan:
“ . . . . . ,sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada . . . “
Bagi warga Yogyakarta – kota maupun provinsi DIY –
kenal sebutan KR atau kedaulatan rakyat sebagai surat kabar lokal. Asumsi
historis dengan gamblang benderang
menjelaskan bahwasanya bahan baku sila-sila Pancasila digali dari menu
harian rakyat. Menjadi praktik harian masyarakat. Masih terasa nyata di
kehidupan bermasyarakat rakyat papan bawah, akar rumput.
Lain niat, jerih payah politisi berhasil melakukan
Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 pada tahun 2001, dua ayat ditambahkan pada Pasal
1. Fokus pada ayat (2), tersurat:
Pasal 1
(2)
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
Kata, lema ‘rakyat’ terasa berderajat, bermartabat
plus naik gengsi dengan sebutan MPR dan DPR. Simpul awam memang terjadi
demokrasi perwaklian vs demokrasi tanpa perantara. Jam bicara wakil rakyat
tergantung masa reses. Wajar jika kawanan, komisi DPR gemar rapat dengar
pendapat dengan pihak lawan.
Partisipasi, peran serta, keikutsertaan, kepedulian
rakyat terhadap gerakan politik tak diimbangi dengan sikap positif penguasa,
penyelenggara negara. Suara rakyat
dimanipulasi sesuai asas demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.
Aspek kebahasaan sudah jelas bahwa Pasal 1 ayat (2)
tak ada kewajiban menetapkan UU tentang Kedulatan Rakyat. Jangan sampai
nantinya malah menjadi batu sandungan, median jalan, démarkasi kekebasan
berpolitik secara manusiawi dan bermartabat manusia seutuhnya.
Organisasi kemasyarakatan dan atau partai politik,
menjadi wadah berdemokrasi skala lokal maupun nasional. Antara ormas dengan
parpol bisa seolah beda mazhab, lain kasta. Masing-masing punya anggota, kader,
massa loyal sampai fanatik. Walau mungkin belum mengalahkan fans klub bola
daerah.
Maraknya warung politik atau parpol sebagai pratanda.
Tak jauh-jauh dari makna kendaraan politik yang sukses dengan mensuksesan
penguasa tunggal Orde Baru menjadi jawara 6x pesta demokrasi daripada Suharto alias
pemilu.
Bukti lain kemanfaatan parpol adalah menjadi usaha
profitable, komersial, sumber makmur dan sejahtera. Praktik demokras perwakilan
vs demokrasi tanpa perantara, merujuk pemerataan. Setiap pantat manusia politik
yang pakai pasal biaya politik, ongkos politik seolah wajib mendapat kursi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar