Halaman

Minggu, 17 Mei 2020

dilema wajah generasi nusantara, lama tak berbentuk vs baru kian buram


dilema wajah generasi nusantara, lama tak berbentuk vs baru kian buram

Hikmah terselubung atau bahkan terang benderang bak siang bolong, dibalik ujaran cerdas politik lokal. Kapan kejadiannya, siapa yang berujar, tak masalah. Menjadi ingatan publik ada fakta nyata berupa marginalisasi, stigmaisasi, konotasiasi maupun pelabelan, penyebutan presiden RI ketujuh sebatas petugas partai. Mau pakai kajian akademis atau bahan obrolan kosong iseng santai berhadiah, silahkan.

Ikhwal yang melatarbelakangi, menyebabkan mengapa sampai terjadi penilaian tersebut, wajar. Kehidupan bermasyarakat di satu sisi dengan praktik berbangsa, bernegara di sisi lain, dalam setangkup negara berkembang, bisa disimpulkan sebagai kejadian harian. Diuraikan ke anak bangsa pribumi untuk mengkuatkan bagaimana sejatinya identitas jati diri secara gebyah uyah, pukul rata.

Ujaran dimaksud sebagai produk peradaban, efek tradisi moral masyarakat yang tepo seliro ngelus dada melihat panggung politik nusantara. Pakem, aturan main, kode etik dan etika, norma di panggung seolah pakai gaya bebas. Babak pemanasan, sekedar tahu bentuk panggung, survei awal. Baru masuk wilayah batas, argo aroma irama overdosis imajinasi politik vs minim asupan ideologi Pancasila, menghantui.

 Di panggung politik, beredar fatwa bahwa pemain tua, muka lama, kader karbitan dan orbitan, kader kambuhan sudah membosankan atau nyaris tak populer. Jangan lupa, semangat 1945 bisa tetap membara akan tetapi semangat Reformasi tak kalah garang. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah, kalah disumpahi. Anak cucu pewaris kuasa politik tak ada kapoknya.

asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné” menjadi bahan baku atau kesimpulan awal yang layak diduga akurasinya. Masuk kawasan utama panggung politik,  pemandu wisata politik sudah promosikan adanya pasal kuasa politik rebutan kursi di atas bangkai demokrasi multipartai. Berkat promosi investasi mancanegara, yang mana dimana Indonesia ramah investor. Kemurahan alam dijual murah kepada pihak lain yang berkepentingan demi buat kesejahteraan warga negaranya. Minimal pasal ganti untung dari pengusaha lokal sampai manusia ekonomi multinasional, semiglobal.

Sengaja tanpa rencana angan-angan, bahwasanya lema ‘generasi’ tak disenggol, tak nongol bikin hati dongkol kian mogul. Karenanya oleh karena ada generasi bau tanah yang gagal dewasa, walau tampak matang luar. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar