dilema wajah generasi nusantara, lama tak berbentuk vs
baru kian buram
Hikmah terselubung atau bahkan terang benderang bak siang
bolong, dibalik ujaran cerdas politik lokal. Kapan kejadiannya, siapa yang
berujar, tak masalah. Menjadi ingatan publik ada fakta nyata berupa marginalisasi,
stigmaisasi, konotasiasi maupun pelabelan, penyebutan presiden RI ketujuh
sebatas petugas partai. Mau pakai kajian akademis atau bahan obrolan kosong
iseng santai berhadiah, silahkan.
Ikhwal yang melatarbelakangi, menyebabkan mengapa sampai
terjadi penilaian tersebut, wajar. Kehidupan bermasyarakat di satu sisi dengan
praktik berbangsa, bernegara di sisi lain, dalam setangkup negara berkembang,
bisa disimpulkan sebagai kejadian harian. Diuraikan ke anak bangsa pribumi
untuk mengkuatkan bagaimana sejatinya identitas jati diri secara gebyah uyah, pukul
rata.
Ujaran dimaksud sebagai produk peradaban, efek tradisi
moral masyarakat yang tepo seliro ngelus dada melihat panggung politik nusantara. Pakem, aturan
main, kode etik dan etika, norma di panggung seolah pakai gaya bebas. Babak pemanasan,
sekedar tahu bentuk panggung, survei awal. Baru masuk wilayah batas, argo aroma
irama overdosis imajinasi politik vs minim asupan ideologi Pancasila,
menghantui.
Di panggung
politik, beredar fatwa bahwa pemain tua, muka lama, kader karbitan dan orbitan,
kader kambuhan sudah membosankan atau nyaris tak populer. Jangan lupa, semangat
1945 bisa tetap membara akan tetapi semangat Reformasi tak kalah garang. Menang
jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah, kalah disumpahi. Anak cucu pewaris
kuasa politik tak ada kapoknya.
“asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné” menjadi bahan
baku atau kesimpulan awal yang layak diduga akurasinya. Masuk kawasan utama
panggung politik, pemandu wisata politik
sudah promosikan adanya pasal kuasa politik rebutan kursi di atas bangkai
demokrasi multipartai. Berkat promosi investasi mancanegara, yang mana dimana
Indonesia ramah investor. Kemurahan alam dijual murah kepada pihak lain yang
berkepentingan demi buat kesejahteraan warga negaranya. Minimal pasal ganti
untung dari pengusaha lokal sampai manusia ekonomi multinasional, semiglobal.
Sengaja tanpa rencana angan-angan, bahwasanya lema ‘generasi’
tak disenggol, tak nongol bikin hati dongkol kian mogul. Karenanya oleh karena ada
generasi bau tanah yang gagal dewasa, walau tampak matang luar. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar