Halaman

Senin, 25 Mei 2020

alergi kritik jangan main politik

alergi kritik jangan main politik

Interaksi aktif antara ibu Pertiwi dengan anak bangsa, tunas bangsa retardasi mental. Generasi pribumi nusantara buta warna politik, tahu-tahu sejalan dengan agresi covid-19 terdegeneratif secara alami, masif dengan kurva merayap datar. Konsistensi terhadap rutinitas ritual politik tak pakai akal sehat atau akal-akalan. Sigap laksanakan tanpa reserve, tanpa syarat.

Bukan pasal atau soal alergi, antipati, apriori, apatis politik maupun memandang politik dengan kacamata moral, kacamata negatif. Asumsi sejarah yang mana dimana pemain utama plus kawanan figuran masih hidup. Terjebak pola permainan politik praktis. Begitu kaki kiri masuk dunia politik, mau tak mau wajib ikut kode etik, aturan man partai politik.

Karakter manusia politik ditinjau dari aspek kemanusiaan, seperti yang sedang terjadi bukan stereotipe, tetapi bukti di lapangan sering berpola demikian. Dimensi kepentingan dan permainan aktor-aktor partai politik mampun menampilkan politik kotor tetap secara aklamasi didaulat bermartabat.

Jangan abaiakan sejarah peradaban politik nusantara. Ketika penguasa alérgi sila-sila Pancasila. Tindak politik sékulér liwat ujaran penistaan agama yang dipraktikkan oleh gubernur DKI Jakarta saat itu, hanya puncak gunung es. Betapa alérginya penguasa dengan sila-sila Pancasila.

Karakteristik generasi tunas bangsa, silau masa lampau vs alérgi masa depan. Tampilnya generasi pewaris masa depan sudah menjadi keharusan sejarah dan tak boleh ditawar lagi. Orang tak perlu merepotkan latar belakang pendidikan formal, dikotomi sipil-militer, warna parpol, sering muncul atau tidaknya di media massa. Generasi dimaksud tidak harus lahir dari  kalangan penyelenggara negara, atau pengusaha atau dari anasir formal lainnya. Generasi dimaksud merupakan kebutuhan sejarah dan yang penting rakyat sedia, siap, siaga, sigap dengan kondisi tersebut.

Hubungan kemartabatan antara kawula dengan panguwasa, anatara kerakyatan dengan kuas politik, sesuai kaidah makna persatuan, kesatuan dan keutuhan Nusantara. Kendati Pancasila memang ada lima sila. Perjalanan peradaban berkemajuan lurus anak bangsa pribumi Nusantara, menjadikan merahnya Merah-Putih semakin merah. Kandungan komponen lokal ideologi, tepat modus politik, sudah semakin surut.

Walhasil, asumsi sejarah semakin meyakinkan bahwa kelompok minoritas di NKRI bukan yang lemah, miskin, bodoh. Kalah jumlah tapi menang kaya, kuat, kuasa. Minimal dengan faktor kaya finansial, keuangan, ekonomi mampu menjadikan anak bangsa pribumi, kaum bumiputera, putra-putri asal daerah ini menjadi apa saja. Kelompok minoritas dimaksud semakin menunjukkan jati dirinya sebagai komponen bangsa yang mendominasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Merahnya sang Merah-Putih menjadi semakin merah.

Padahal, “praktik demokrasi negara multipartai vs penguasa di bawah satu kendali”. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar