alergi kritik jangan main politik
Interaksi aktif antara ibu Pertiwi dengan anak
bangsa, tunas bangsa retardasi mental. Generasi pribumi nusantara buta warna
politik, tahu-tahu sejalan dengan agresi covid-19 terdegeneratif secara alami,
masif dengan kurva merayap datar. Konsistensi terhadap rutinitas ritual politik
tak pakai akal sehat atau akal-akalan. Sigap laksanakan tanpa reserve, tanpa
syarat.
Bukan pasal atau soal alergi, antipati, apriori,
apatis politik maupun memandang politik dengan kacamata moral, kacamata negatif.
Asumsi sejarah yang mana dimana pemain utama plus kawanan figuran masih hidup. Terjebak
pola permainan politik praktis. Begitu kaki kiri masuk dunia politik, mau tak
mau wajib ikut kode etik, aturan man partai politik.
Karakter manusia politik ditinjau dari aspek
kemanusiaan, seperti yang sedang terjadi bukan stereotipe, tetapi bukti di
lapangan sering berpola demikian. Dimensi kepentingan dan permainan aktor-aktor
partai politik mampun menampilkan politik kotor tetap secara aklamasi didaulat
bermartabat.
Jangan abaiakan sejarah peradaban politik nusantara.
Ketika penguasa alérgi sila-sila Pancasila. Tindak politik sékulér liwat ujaran
penistaan agama yang dipraktikkan oleh gubernur DKI Jakarta saat itu, hanya
puncak gunung es. Betapa alérginya penguasa dengan sila-sila Pancasila.
Karakteristik generasi tunas bangsa, silau masa
lampau vs alérgi masa depan. Tampilnya generasi pewaris masa depan sudah menjadi
keharusan sejarah dan tak boleh ditawar lagi. Orang tak perlu merepotkan latar
belakang pendidikan formal, dikotomi sipil-militer, warna parpol, sering muncul
atau tidaknya di media massa. Generasi dimaksud tidak harus lahir dari kalangan penyelenggara negara, atau pengusaha
atau dari anasir formal lainnya. Generasi dimaksud merupakan kebutuhan sejarah
dan yang penting rakyat sedia, siap, siaga, sigap dengan kondisi tersebut.
Hubungan kemartabatan
antara kawula dengan panguwasa, anatara kerakyatan dengan kuas politik, sesuai
kaidah makna persatuan, kesatuan dan keutuhan Nusantara. Kendati Pancasila
memang ada lima sila. Perjalanan peradaban berkemajuan lurus anak bangsa
pribumi Nusantara, menjadikan merahnya Merah-Putih semakin merah. Kandungan
komponen lokal ideologi, tepat modus politik, sudah semakin surut.
Walhasil, asumsi sejarah
semakin meyakinkan bahwa kelompok minoritas di NKRI bukan yang lemah, miskin,
bodoh. Kalah jumlah tapi menang kaya, kuat, kuasa. Minimal dengan faktor kaya
finansial, keuangan, ekonomi mampu menjadikan anak bangsa pribumi, kaum
bumiputera, putra-putri asal daerah ini menjadi apa saja. Kelompok minoritas
dimaksud semakin menunjukkan jati dirinya sebagai komponen bangsa yang
mendominasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Merahnya
sang Merah-Putih menjadi semakin merah.
Padahal, “praktik
demokrasi negara multipartai vs penguasa di bawah satu kendali”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar