menyampaikan kebohongan vs memang itu tahunya
Menjadi pendengar pasif, pastilah, karena tak ikut arus
suara sumbang. Partisipasi kehadiran diri sudah dianggap bentuk peduli paling
ringan. Melayat ke sesama warga kompleks menjadi ajang temu warga. Beda RT agar
eksis cerita martabat diri, tanpa diminta. Pelayat bukannya ucapkan duka plus
berdoa di samping jenazah. Datang langsung masuk gerombolan, sumbang pengalaman
hidup.
Bukan karakter atau watak dasar manusia selaku makhluk
sosial. Pegiat lingkungan RT yang tak pernah absen tampil, sudah ketahuan
modalnya. Pukul rata tapi bukan kesimpulan, tak ada korelasi antara aktivis
lingkungan skala RT/RW dengan gerakan senyap ahli masjid. Seloroh santai
menyebut jalan depan rumah marbot masjid komplek perumahan versi KPR-BTN dengan
julukan ‘gang marbot’.
Nyaris lupa tak sengaja. Tahlilan di rumah duka, 3 hari
pertama plus hari ke tujuh. Kalau jamaah masjid bakda Isya’ tak diajak, suasana
sepi. Asal komunitas atau gengnya hadir,
maka kawanannya ikut hadir. Itu membentuk pendudukan di teras atau di bawah
tenda pelayatan. Majelis Taklim ibu-ibu malah bisa diandalkan. Selain pengajian
rutin, bisa aksi tahlilan bakda ashar.
Acara tak resmi saling silang masa lampau. Kesempatan
bagi warga yang mau unjuk diri. Merasa makan asam garam di atas rata-rata
warga. Bentuk lain berupa momong cucu. Tak sadar banyak cara alami memacu
memicu kecemburuan sosial. Dituntut cerdas diri ikut arus selera atau kasta
lingkungan tapi tak terjebak arus kuat. Terapkan ilmu padi, low profile
bukan gaya ilmu kondom.
Bahan obrolan jangan daur ulang atau buka dokumen lama
yang layak masuk kotak. Murah meriah, dengar obrolan yang dominan. Dikembangkan
plus patahkan argumen. Kita harus berani unjuk cerdas diri liwat kalimat sarat
hakikat. Nilai diri bukan karena acap nongol di WA grup RT atau komunitas
sesama penyuka santapan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar