Halaman

Minggu, 10 Mei 2020

menyampaikan kebohongan vs memang itu tahunya


menyampaikan kebohongan vs memang itu tahunya

Menjadi pendengar pasif, pastilah, karena tak ikut arus suara sumbang. Partisipasi kehadiran diri sudah dianggap bentuk peduli paling ringan. Melayat ke sesama warga kompleks menjadi ajang temu warga. Beda RT agar eksis cerita martabat diri, tanpa diminta. Pelayat bukannya ucapkan duka plus berdoa di samping jenazah. Datang langsung masuk gerombolan, sumbang pengalaman hidup.

Bukan karakter atau watak dasar manusia selaku makhluk sosial. Pegiat lingkungan RT yang tak pernah absen tampil, sudah ketahuan modalnya. Pukul rata tapi bukan kesimpulan, tak ada korelasi antara aktivis lingkungan skala RT/RW dengan gerakan senyap ahli masjid. Seloroh santai menyebut jalan depan rumah marbot masjid komplek perumahan versi KPR-BTN dengan julukan ‘gang marbot’.

Nyaris lupa tak sengaja. Tahlilan di rumah duka, 3 hari pertama plus hari ke tujuh. Kalau jamaah masjid bakda Isya’ tak diajak, suasana sepi.  Asal komunitas atau gengnya hadir, maka kawanannya ikut hadir. Itu membentuk pendudukan di teras atau di bawah tenda pelayatan. Majelis Taklim ibu-ibu malah bisa diandalkan. Selain pengajian rutin, bisa aksi tahlilan bakda ashar.

Acara tak resmi saling silang masa lampau. Kesempatan bagi warga yang mau unjuk diri. Merasa makan asam garam di atas rata-rata warga. Bentuk lain berupa momong cucu. Tak sadar banyak cara alami memacu memicu kecemburuan sosial. Dituntut cerdas diri ikut arus selera atau kasta lingkungan tapi tak terjebak arus kuat. Terapkan ilmu padi, low profile bukan gaya ilmu kondom.

Bahan obrolan jangan daur ulang atau buka dokumen lama yang layak masuk kotak. Murah meriah, dengar obrolan yang dominan. Dikembangkan plus patahkan argumen. Kita harus berani unjuk cerdas diri liwat kalimat sarat hakikat. Nilai diri bukan karena acap nongol di WA grup RT atau komunitas sesama penyuka santapan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar