Halaman

Minggu, 17 Mei 2020

ketika generasi bau tanah gagal dewasa


ketika generasi bau tanah gagal dewasa

Berlandaskan kejadian, peristiwa, kisah kehidupan nyata. Diangkat, dirumuskan dari kenyataan dan pengalaman. Menghindari wabah buruk sangka dan dugaan negatif pemirsa. Agar atraktif mewakili atau gaya répreséntatif permirsa, maka oleh karena itu lebih afdal berdasarkan pengalaman pihak lain. Diolah dengan bahasa seolah-olah adalah pengalaman pribadi.

Pihak lain sebagai cermin datar, pemberi info, pemasok kritik dan sigap berujar tanpa diminta. Tak perlu ditanya sudah langsung menjawab bebas apa adanya, adanya apa sesuai kapasitas, volume, isi mulut. Justru mereka kalau tak saran sumbang, mulut gatal luar dalam. Itulah hikmah perkawanan, beda dengan pertemanan.

Langsung mulai dari ketika masih kuliah. Melihat sibuknya orang tua mencari nafkah, berbekal ijazah. Berawal dari guru yang nyambi kuliah. Mampu meraih menyandang gelar guru besar. Fakta ini yang menjadikan tradisi keilmuan. Bahkan ilmu olah kata ini karena faktor ajar di keluarga. Disiplin ilmu untuk jadi syarat administrasi cari kerja sampai pensiun. Alih ilmu orang tua menjadi modal sampai kini.

Saat menjadi orang tua, karena merasa pangkat, golongan ruang selaku PNS tak mungkin sama dengan orang tua. Tetap bersyukur, dengan hanya cuma S1 bisa dua kali promosi jabatan struktural. Ini yang menjadikan memasuki tahap pensiun bisa bergaya low profile. Rasa bangga yang melekat beripa kaos seminar, kaos kantor beberapa kali rotasi, mtuasi selain promosi. Kaos dari anak menjadi simbol sukses selaku orang tua. Tak perlu cerita betapa anak sekarang.

Beda nyata, saat berkeluarga jauh dari kota tinggal orang tua, mengadu nasib di ibukota negara. Menjadi penduduk, penghuni kawasan perumahan versi KPR-BTN. Sampai beranak cucu. Pertanyaan berulang tanya mana cucu. Susah dijawab. Dijawab jujur: “cucu ikut orang tuanya”, dikira menyindir. Seolah mau jujur kata keberhasilan mendidik anak untuk mandiri.

Ada keluarga yang lebih berhasil. Tetangga kiri rumah. Anak sulungnya berkeluarga, agar bebas ber-rumah tangga. Orang tuanya ambil sikap balik ke kampung halaman dengan anak nomor dua dan si bontot. “Bertani”, dalihnya.

Masukan substansial berlanjut, yang mana dimana tetangga yang notabene lebih tua atau sama-sama manula tak risi pakai celana pendek. Ingat zaman kecil, yang pakai celana pendek hanya abang becak. Kaos jersey kinclong, ada nomor dan nama punggung pesepak bola klub dunia. ibu rumah tangga ada keperluan di jalan, belanja di abang tukang sayur, pakai baju daster atau busana kebesaran. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar