ketika generasi bau tanah gagal dewasa
Berlandaskan kejadian, peristiwa, kisah kehidupan nyata. Diangkat,
dirumuskan dari kenyataan dan pengalaman. Menghindari wabah buruk sangka dan
dugaan negatif pemirsa. Agar atraktif mewakili atau gaya répreséntatif permirsa, maka oleh karena itu
lebih afdal berdasarkan pengalaman pihak lain. Diolah dengan bahasa seolah-olah
adalah pengalaman pribadi.
Pihak lain sebagai cermin datar, pemberi info, pemasok
kritik dan sigap berujar tanpa diminta. Tak perlu ditanya sudah langsung
menjawab bebas apa adanya, adanya apa sesuai kapasitas, volume, isi mulut. Justru
mereka kalau tak saran sumbang, mulut gatal luar dalam. Itulah hikmah
perkawanan, beda dengan pertemanan.
Langsung mulai dari ketika masih kuliah. Melihat sibuknya
orang tua mencari nafkah, berbekal ijazah. Berawal dari guru yang nyambi
kuliah. Mampu meraih menyandang gelar guru besar. Fakta ini yang menjadikan
tradisi keilmuan. Bahkan ilmu olah kata ini karena faktor ajar di keluarga. Disiplin
ilmu untuk jadi syarat administrasi cari kerja sampai pensiun. Alih ilmu orang tua
menjadi modal sampai kini.
Saat menjadi orang tua, karena merasa pangkat, golongan
ruang selaku PNS tak mungkin sama dengan orang tua. Tetap bersyukur, dengan
hanya cuma S1 bisa dua kali promosi jabatan struktural. Ini yang menjadikan
memasuki tahap pensiun bisa bergaya low profile. Rasa bangga yang
melekat beripa kaos seminar, kaos kantor beberapa kali rotasi, mtuasi selain
promosi. Kaos dari anak menjadi simbol sukses selaku orang tua. Tak perlu
cerita betapa anak sekarang.
Beda nyata, saat berkeluarga jauh dari kota tinggal orang
tua, mengadu nasib di ibukota negara. Menjadi penduduk, penghuni kawasan
perumahan versi KPR-BTN. Sampai beranak cucu. Pertanyaan berulang tanya mana
cucu. Susah dijawab. Dijawab jujur: “cucu ikut orang tuanya”, dikira menyindir.
Seolah mau jujur kata keberhasilan mendidik anak untuk mandiri.
Ada keluarga yang lebih berhasil. Tetangga kiri rumah. Anak
sulungnya berkeluarga, agar bebas ber-rumah tangga. Orang tuanya ambil sikap
balik ke kampung halaman dengan anak nomor dua dan si bontot. “Bertani”, dalihnya.
Masukan substansial berlanjut, yang mana dimana tetangga
yang notabene lebih tua atau sama-sama manula tak risi pakai celana pendek. Ingat
zaman kecil, yang pakai celana pendek hanya abang becak. Kaos jersey kinclong,
ada nomor dan nama punggung pesepak bola klub dunia. ibu rumah tangga ada
keperluan di jalan, belanja di abang tukang sayur, pakai baju daster atau
busana kebesaran. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar