omong maton vs
waton ngomong
Padahal, judul dimaksud merupakan salah sisi sebuah
kejadian nyata di alam manusia beradab plus mempercepat capaian ke masa
depan. Bak sekeping koin dengan pola
dwi-muka. Sinergi yang tak saling kenal muka, temu muka. Sisi lain judul berupa
bahasa tulis tangan langsung maupun dengan alat bantu. Namun kiranya pasangan
setangkup, tak otomatis menyiratkan dwi-tunggal.
Keluwesan yang dimilki mata uang kertas, menjurus ke
bentuk lecek, kumel nyaris nilai tukar tak sesuai nominal. Menunjukkan yang
pegang uang tak tahu uang, tak menghargai biaya cetak yang mungkin lebih mahal
ketimbang nilai nominal. Atau karena uang tersebut bersifat dinamis, selalu
berpindah tangan. Tak sempat masuk dompet. Menuh-menuhi dompet.
Bukan kebetulan jika mata uang seratus ribu Rp dan lima
puluh ribu Rp mendapat tempat di dompet. Bersama dengan uang plastik simbol
kalangan berduit, berpunya. Negara dengan mata uang Rp namun tak terdapat uang
serupiah. Apalagi bahan hitung anak SD, mengenal sén, ketip (10 sén), bénggol
atau setali (25 sén). Jangan lupa 1 Rp = 100 sén.
Batu sandungan saat praktik kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara bisa tertangkap radar. Musuh dalam lipatan selimut masih
bisa diiendus, dilacak, dideteksi sejak dini. Bukan salah pilah pilih ramuan
ajaib ketahanan mental.
Media massa asing merasa heran tapi maklum. Anak bangsa
yang makan bangku sekolah, ikut paket kejar ijazah, gelar akademis antri sampai
pangkat alat negara, malah gemar mewaspadai riak-riak ketimbang gelombang
tsunami. Seolah gamang menghadapai kenyataan hidup atau fakta global. Angka keamanan
“wajar” jika berurusan dengan Rp dalam
bentuk anggaran, sumber pemasukan atau kaidah bisnis berbangsa dan bernegara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar