Halaman

Jumat, 15 Mei 2020

omong maton vs waton ngomong


omong maton vs  waton ngomong

Padahal, judul dimaksud merupakan salah sisi sebuah kejadian nyata di alam manusia beradab plus mempercepat capaian ke masa depan.  Bak sekeping koin dengan pola dwi-muka. Sinergi yang tak saling kenal muka, temu muka. Sisi lain judul berupa bahasa tulis tangan langsung maupun dengan alat bantu. Namun kiranya pasangan setangkup, tak otomatis menyiratkan dwi-tunggal.

Keluwesan yang dimilki mata uang kertas, menjurus ke bentuk lecek, kumel nyaris nilai tukar tak sesuai nominal. Menunjukkan yang pegang uang tak tahu uang, tak menghargai biaya cetak yang mungkin lebih mahal ketimbang nilai nominal. Atau karena uang tersebut bersifat dinamis, selalu berpindah tangan. Tak sempat masuk dompet. Menuh-menuhi dompet.

Bukan kebetulan jika mata uang seratus ribu Rp dan lima puluh ribu Rp mendapat tempat di dompet. Bersama dengan uang plastik simbol kalangan berduit, berpunya. Negara dengan mata uang Rp namun tak terdapat uang serupiah. Apalagi bahan hitung anak SD, mengenal sén, ketip (10 sén), bénggol atau setali (25 sén). Jangan lupa 1 Rp = 100 sén.

Batu sandungan saat praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bisa tertangkap radar. Musuh dalam lipatan selimut masih bisa diiendus, dilacak, dideteksi sejak dini. Bukan salah pilah pilih ramuan ajaib ketahanan mental.

Media massa asing merasa heran tapi maklum. Anak bangsa yang makan bangku sekolah, ikut paket kejar ijazah, gelar akademis antri sampai pangkat alat negara, malah gemar mewaspadai riak-riak ketimbang gelombang tsunami. Seolah gamang menghadapai kenyataan hidup atau fakta global. Angka keamanan “wajar”  jika berurusan dengan Rp dalam bentuk anggaran, sumber pemasukan atau kaidah bisnis berbangsa dan bernegara. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar