Halaman

Jumat, 08 Mei 2020

Kandungan Moral Pada Tradisi Demokrasi Nusantara

Kandungan Moral Pada Tradisi Demokrasi Nusantara

CIKAL BAKAL
Padahal, lepas dari pemaknaan istilah, sebutan ‘demokrasi’, coba kilas balik ke semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Penjelasan UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan)

Bagaimana adab dan adat pengguna, penerima manfaat demokrasi. Apakah dejure sejak bangsa ini mengenal kebangkitan nasional, pergerakan kebangsaan, organisasi kemasyarakatan, partai politik atau faktor eksternal. Karena defacto dengan adanya aspek kenusantaraan sejak zaman kerajaan, khususnya Sumpah Palapa Mahapatih Majapahit, Gadjah Mada.

Cara awam, sederhana, umum mengetahui wujud demokrasi, lihat pada praktiknya. Memang tak bisa lepas dari siapa pelaku demokrasi. Stratifikasi suku bangsa, bahasa, agama maupun teritorial menambah wacana heterogenitas vs solidaritas, toleransi.

DEMOKRASI SEBIDANG
Abaikan ungkapan “layu sebelum berkembang”. Katakan sejujurnya, apa adanya vs adanya apa. Sejak pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, kemerdekaan, kebebasan apa saja yang sudah merakyat.

Tapi nyatanya, berkat Perubahan Kedua UUD NRI 1945 pada tahun 2000, muncul Bab dan Pasal anyar:
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA

Pasal 28J
(2)         Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Penamaan masyarakat demokratis. Asumsi historis dengan gamblang benderang  menjelaskan bahwasanya bahan baku sila-sila Pancasila digali dari menu harian rakyat. Menjadi praktik harian masyarakat. Lain niat, jerih payah politisi berhasil melakukan Perubahan Ketiga UUD NRI 1945pada tahun 2001, dua ayat ditambahkan pada Pasal 1. Fokus pada ayat (2), tersurat:

Pasal 1
(2)         Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Kata, lema ‘rakyat’ terasa berderajat, bermartabat plus naik gengsi dengan sebutan MPR dan DPR. Simpul awam memang terjadi demokrasi perwaklian vs demokrasi tanpa perantara. Jam bicara wakil rakyat tergantung masa reses. Wajar jika kawanan, komisi DPR gemar rapat dengar pendapat dengan pihak lawan.

Partisipasi, peran serta, keikutsertaan, kepedulian rakyat terhadap gerakan politik tak diimbangi dengan sikap positif penguasa, penyelenggara negara.  Suara rakyat dimanipulasi sesuai asas demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.

Meningkat dalam tataran, tatanan kumpulan masyarakat berupa bangsa maupu negara. Praktis kita simak peribahasa “Negara mawa tata, desa mawa cara”. Maksud awal adalah negara dengan tata desa dengan cara. Artinya, negara memiliki peraturan (hukum), desa memiliki adat istiadat.

Tak bisa dipungkiri adanya pemilahan dan pemilihan masyarakat sesuai status sosial, klas ekonomi, kasta politik, strata hukum masih lebur oleh suasana lokalitas. Masyarakat demokrastis menjadi ajang adu kuat antar penganjur demokrasi. Pakai ilmu banding, sanding, tanding dengan aturan main Perlintasan Sebidang adalah perpotongan antara jalan dengan jalur kereta api. Semua pengguna lalu lintas merasa berhak liwat. Lebih diutamakan moda angkutan kereta api. Kendati, padatnya perjalanan kereta api berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di jalan raya.

PRAKTIK DEMOKRASI
Ada tidaknya demokrasi, seperti apa demokrasi yang ada, tersedia. Lacak pada praktik semu demokrasi multipartai. Partai politik lokal sampai eksistensi elite lokal mampu menentukan pilkada. Laik tanding antar partai politik malah menambah besaran pasar biaya politik. Serangan fajar plus pengelembungan suara hasil pungutan suara, bukti lain praktik demokrasi.

Nusantara terjebak dominasi motif politik nasional bebas melalui legitimasi pada proses legislasi. Pasal yang muncul aneka versi, sesuai skenario global. Hak inisiatif kedua belah pihak kalah pamor dengan gaya intervensi, daya agresi, modus intimidasi, asas kendali mutu pihak tertentu. 

Baik atau buruk;  benar atau salah; betul atau keliru; bagus atau buruk berdasarkan demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas. Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih untuk kepentingan penguasa. Bukan sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat.

Disinyalir bahkan direkomendasikan, budaya tipikor tetap eksis dan meningkat sejalan praktik demokrasi negara multipartai. Pelaku bisa kian beragam, bervariasi dari segala strata trias politika. Cerdas politik melahirkan tatanan lawas teranyarkan, minimal mendekati karakter judul.

Memakai ungkapan, istilah menyalahgunakan wewenang, melampauibatasan kekuasaan plus aji mumpung vs mumpung aji. Belum ada pengendusan atas tata cara penyusunan APBN dan atau APBD yang memberi peluang atau identik cikal bakal kesempatan peluang berkorup. Hak milik kawan partai dan atau serahkan kepada ahlinya.

Tak pakai evaluasi mendalam. Sebut saja cuplikan UU 23/2014, menyebutkan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi. Semangkin akrab jika gubernur sama-sama kawan partai. Gubernur tak perlu main cuwil APBD. Peluang emas dari jika mampu mengakomodir kepentingan bandar politik, manusia ekonomi menjadi kebijakan gubernur, ketetapan daerah. Mereka tahu diri, tahu rasa terima kasih. Padahal masuk kontrak politik.

SIMPUL AWAL
Stabilisasi moral politik terkendala dan terkendali. Moral politik rubuh-rubuh gedhang nusantara, pendhèrèk vs nganthèk. Pasca reformasi yang bergulir laju, meluncur deras dari puncaknya, 21 Mei 1998. Indonesia kian mendaulatkan diri sebagai negara berkembang. Kran demokrasi mengucur deras ke segala arah. Bak kuda liar bebas dari pingitan Orde Baru.

Masalah mendasar, politik berkembang ke samping dan ke atas. Kurang mengakar ke bawah. Musim hujan, jelang pesta demokrasi, sibuk mendirikan sebuah bentukan partai politik. Anak bangsa pribumi banyak akal. Model politik nusantara identik dengan otomotif. Mobil yang di negara pembuatnya, pabriknya sudah bubar. Namun sang mobil masih bersliweran di jalan. Minimal menjadi barang antik. Belum lagi keahlian merakit dengan sistem kanibal, oplosan. Modifikasi agar modis, klasik maupun mendongkrak wibawa.

Manusia ekonomi yang tak sabar, daya kalkulasi politik mengarah ke asas lebih cepat lebih hemat. Mendirikan partai politik untuk semua watak manusia nusantara yang belum tersalurkan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar