Kandungan Moral Pada
Tradisi Demokrasi Nusantara
CIKAL BAKAL
Padahal, lepas dari pemaknaan istilah, sebutan
‘demokrasi’, coba kilas balik ke semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal
Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu
Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika
diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan
bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (Penjelasan UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan)
Bagaimana adab dan adat pengguna, penerima manfaat
demokrasi. Apakah dejure sejak bangsa ini mengenal kebangkitan nasional,
pergerakan kebangsaan, organisasi kemasyarakatan, partai politik atau faktor
eksternal. Karena defacto dengan adanya aspek kenusantaraan sejak zaman
kerajaan, khususnya Sumpah Palapa Mahapatih Majapahit, Gadjah Mada.
Cara awam, sederhana, umum mengetahui wujud
demokrasi, lihat pada praktiknya. Memang tak bisa lepas dari siapa pelaku
demokrasi. Stratifikasi suku bangsa, bahasa, agama maupun teritorial menambah
wacana heterogenitas vs solidaritas, toleransi.
DEMOKRASI SEBIDANG
Abaikan ungkapan “layu sebelum berkembang”. Katakan
sejujurnya, apa adanya vs adanya apa. Sejak pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17
Agustus 1945, kemerdekaan, kebebasan apa saja yang sudah merakyat.
Tapi nyatanya, berkat Perubahan Kedua UUD NRI 1945 pada
tahun 2000, muncul Bab dan Pasal anyar:
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28J
(2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Penamaan masyarakat demokratis. Asumsi historis
dengan gamblang benderang menjelaskan
bahwasanya bahan baku sila-sila Pancasila digali dari menu harian rakyat.
Menjadi praktik harian masyarakat. Lain niat, jerih payah politisi berhasil
melakukan Perubahan Ketiga UUD NRI 1945pada tahun 2001, dua ayat ditambahkan
pada Pasal 1. Fokus pada ayat (2), tersurat:
Pasal 1
(2)
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
Kata, lema ‘rakyat’ terasa berderajat, bermartabat
plus naik gengsi dengan sebutan MPR dan DPR. Simpul awam memang terjadi
demokrasi perwaklian vs demokrasi tanpa perantara. Jam bicara wakil rakyat
tergantung masa reses. Wajar jika kawanan, komisi DPR gemar rapat dengar
pendapat dengan pihak lawan.
Partisipasi, peran serta, keikutsertaan, kepedulian
rakyat terhadap gerakan politik tak diimbangi dengan sikap positif penguasa,
penyelenggara negara. Suara rakyat
dimanipulasi sesuai asas demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.
Meningkat dalam tataran, tatanan kumpulan
masyarakat berupa bangsa maupu negara. Praktis kita simak peribahasa “Negara
mawa tata, desa mawa cara”. Maksud awal adalah negara dengan tata desa dengan
cara. Artinya, negara memiliki peraturan (hukum), desa memiliki adat istiadat.
Tak bisa dipungkiri adanya pemilahan dan pemilihan
masyarakat sesuai status sosial, klas ekonomi, kasta politik, strata hukum
masih lebur oleh suasana lokalitas. Masyarakat demokrastis menjadi ajang adu
kuat antar penganjur demokrasi. Pakai ilmu banding, sanding, tanding dengan
aturan main Perlintasan Sebidang adalah perpotongan antara jalan dengan jalur
kereta api. Semua pengguna lalu lintas merasa berhak liwat. Lebih diutamakan
moda angkutan kereta api. Kendati, padatnya perjalanan kereta api berbanding
lurus dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di jalan raya.
PRAKTIK DEMOKRASI
Ada tidaknya demokrasi, seperti apa demokrasi yang
ada, tersedia. Lacak pada praktik semu demokrasi multipartai. Partai politik
lokal sampai eksistensi elite lokal mampu menentukan pilkada. Laik tanding
antar partai politik malah menambah besaran pasar biaya politik. Serangan fajar
plus pengelembungan suara hasil pungutan suara, bukti lain praktik demokrasi.
Nusantara terjebak dominasi motif politik nasional
bebas melalui legitimasi pada proses legislasi. Pasal yang muncul aneka versi,
sesuai skenario global. Hak inisiatif kedua belah pihak kalah pamor dengan gaya
intervensi, daya agresi, modus intimidasi, asas kendali mutu pihak
tertentu.
Baik atau buruk;
benar atau salah; betul atau keliru; bagus atau buruk berdasarkan
demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas. Secara aklamasi, voting
atau adu suara. Terlebih untuk kepentingan penguasa. Bukan sesuai ketentuan
agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat.
Disinyalir bahkan direkomendasikan, budaya tipikor
tetap eksis dan meningkat sejalan praktik demokrasi negara multipartai. Pelaku
bisa kian beragam, bervariasi dari segala strata trias politika. Cerdas politik
melahirkan tatanan lawas teranyarkan, minimal mendekati karakter judul.
Memakai ungkapan, istilah menyalahgunakan wewenang,
melampauibatasan kekuasaan plus aji mumpung vs mumpung aji. Belum ada
pengendusan atas tata cara penyusunan APBN dan atau APBD yang memberi peluang
atau identik cikal bakal kesempatan peluang berkorup. Hak milik kawan partai
dan atau serahkan kepada ahlinya.
Tak pakai evaluasi mendalam. Sebut saja cuplikan UU
23/2014, menyebutkan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas
Dekonsentrasi. Semangkin akrab jika gubernur sama-sama kawan partai. Gubernur
tak perlu main cuwil APBD. Peluang emas dari jika mampu mengakomodir
kepentingan bandar politik, manusia ekonomi menjadi kebijakan gubernur,
ketetapan daerah. Mereka tahu diri, tahu rasa terima kasih. Padahal masuk
kontrak politik.
SIMPUL AWAL
Stabilisasi moral politik terkendala dan terkendali.
Moral politik rubuh-rubuh gedhang nusantara, pendhèrèk vs nganthèk. Pasca
reformasi yang bergulir laju, meluncur deras dari puncaknya, 21 Mei 1998.
Indonesia kian mendaulatkan diri sebagai negara berkembang. Kran demokrasi
mengucur deras ke segala arah. Bak kuda liar bebas dari pingitan Orde Baru.
Masalah mendasar, politik berkembang ke samping dan
ke atas. Kurang mengakar ke bawah. Musim hujan, jelang pesta demokrasi, sibuk
mendirikan sebuah bentukan partai politik. Anak bangsa pribumi banyak akal. Model
politik nusantara identik dengan otomotif. Mobil yang di negara pembuatnya,
pabriknya sudah bubar. Namun sang mobil masih bersliweran di jalan. Minimal
menjadi barang antik. Belum lagi keahlian merakit dengan sistem kanibal,
oplosan. Modifikasi agar modis, klasik maupun mendongkrak wibawa.
Manusia ekonomi yang tak sabar, daya kalkulasi
politik mengarah ke asas lebih cepat lebih hemat. Mendirikan partai politik untuk semua
watak manusia nusantara yang belum tersalurkan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar