Halaman

Kamis, 14 Mei 2020

Islam Jawa dan ki demang klambi abang


Islam Jawa dan ki demang klambi abang

Tak ada pesan moral apa pun yang akan diungkap. Semua serba kebetulan plus bersamaan pada waktu yang sama. Antara kejadian yang satu dengan yang lain, karena terjadi di waktu yang sama, tempat satu area kejadian peristiwa. Perpaduan peristiwa lawas yang tersimpulkan dengan hal-hal anyar yang masih bergulir.

Agar tak gagal paham, salah paham maka daripada itu kita gali ingatan lama tentang adagium bahasa jawa “ki demang klambi ambang, disogok manthuk-manthuk”. Kiasan dari kisah jantung pisang berwarna merah, jika disodok dengan galah, akan bergoyang naik turun. Seperti orang mengagguk-anggukan kepala tanda setuju, tanda paham, tanda sepakat, tanda mengerti. Beda perihal dengan buah lain kalau tak disodok, tak digalah tetap diam saja. Tak mau jatuh kalau sudah matang di pohon.

Menu sahur puasa 21 Ramadhan 1441H, diawali oplosan susu dituang air kopi seduhan hangat. Memanfaatkan juruh teman lupis, menu buka puasa yang lalu. Didorong potongan pepaya panen kebun sendiri, bakda isya’. Santap nasi dihangatkan pakai kuah semur jengkol milik garwo. Sambil santap ketik olah kata ini.

Jadi, kendati tak makan jengkol secara defacto, namun kata ahli kuliner, secara dejure sudah terlibat kasus perjengkolan. Tidak ada kaitan iseng dengan simpul judul. Mau ada Islam Jawa abangan. Mau ada Islam abangan. Terserah sejarah.

Atau mau bilang bagaimana Islam, agama Islam, umat Islam sekarang. Apa perlu disodok, digalah. Manthuk-manthuk karena apa. Atau karena sudah duduk manis di kursi goyang. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar