Islam Jawa dan ki demang klambi abang
Tak ada pesan moral apa pun yang akan diungkap. Semua
serba kebetulan plus bersamaan pada waktu yang sama. Antara kejadian yang satu
dengan yang lain, karena terjadi di waktu yang sama, tempat satu area kejadian peristiwa.
Perpaduan peristiwa lawas yang tersimpulkan dengan hal-hal anyar yang masih
bergulir.
Agar tak gagal paham, salah paham maka daripada itu kita
gali ingatan lama tentang adagium bahasa jawa “ki demang klambi ambang, disogok
manthuk-manthuk”. Kiasan dari kisah jantung pisang berwarna merah, jika disodok
dengan galah, akan bergoyang naik turun. Seperti orang mengagguk-anggukan
kepala tanda setuju, tanda paham, tanda sepakat, tanda mengerti. Beda perihal
dengan buah lain kalau tak disodok, tak digalah tetap diam saja. Tak mau jatuh
kalau sudah matang di pohon.
Menu sahur puasa 21 Ramadhan 1441H, diawali oplosan susu
dituang air kopi seduhan hangat. Memanfaatkan juruh teman lupis, menu
buka puasa yang lalu. Didorong potongan pepaya panen kebun sendiri, bakda isya’.
Santap nasi dihangatkan pakai kuah semur jengkol milik garwo. Sambil santap
ketik olah kata ini.
Jadi, kendati tak makan jengkol secara defacto,
namun kata ahli kuliner, secara dejure sudah terlibat kasus
perjengkolan. Tidak ada kaitan iseng dengan simpul judul. Mau ada Islam Jawa
abangan. Mau ada Islam abangan. Terserah sejarah.
Atau mau bilang bagaimana Islam, agama Islam, umat Islam
sekarang. Apa perlu disodok, digalah. Manthuk-manthuk karena apa. Atau karena sudah duduk manis di kursi
goyang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar