lompatan politik pasca agresi covid-19, beda ilmu vs lain guru
Domestikasi, lokalitas atau lokalisasi maupun karantina
wilayah bersubsidi silang agar manusia bertransformasi kembali ke jati diri, kesejatian
manusia. Soal utuh atau unggul, laik tanding atau pilih tanding, serahkan
kepada asupan santunan jiwa raga. Pola grafik kemanusiaan bersifat gejolak dinamis,
fluktuatif tergantung stabilitas eksternal.
Ketahanan mental anak bangsa di akar rumput, rentan
tercerabut. Kiranya tambah fakta di bawah tempurung demokrasi tong-tong. Ambiguitas
praktik demokrasi, memang tak seindah aslinya. Lebih asyik dengan gudang teori
narasinya. Unsur keteladanan, panutan memang minim. Tapi selalu dibutuhkan oleh
manusia politik segala sekte. Mujarab memang mujarab, tapi untuk luka luar,
goresan kecil yang tidak membahayakan wibawa negara.
Serta merta integrasi, rekonsiliasi nilai peradaban
bangsa hasil pasar bebas dunia dengan nilai tradisi lokal, budaya, moral dan
adat istiadat di negeri ini menjadi paradoksal, kontradiktif.
Lompatan jauh dan tinggi telah terjadi di sistem karier
politik dalam negeri. Adalah fakta politis, siapa saja bisa menjadi apa saja. Grafik
etape perjalanan nasib, karier anak manusia penyuka politik tak selamanya
mulus, lurus. Pasang surut, timbul tenggelam bahkan maju mundur menjadi bumbu
kehidupan. Pada saat kehidupan yang sempit, orang lebih menerima fakta, ulet,
tahan, sabar dan menjadi pemacu pemicu. Merapat ke atas setiap saat.
Jadi, gerakan manipulasi watak menjadi tradisi mengakar,
menstimulasi gagasan tak pakai lama yang asal berkaki. Gerakan aksi yang
menginspirasi modus berkelanjutan tanpa kemajuan.
Indonesia sibuk mencari formulasi kesetaraan segitiga
samakaki, tiga serangkai, lingkaran demit:
pemberdayaan ekonomi nasional, penyehatan keuangan negara dan penciptaan
kemakmuran rakyat. Plus mereka ulang keseimbangan pembangunan di masa kini dan
masa datang. Skala prioritas menjaga
stabilitas kepentingan penguasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar