dilema sistem parpol
nusantara, perpanjangan tangan vs pijakan kaki
Ingat lema ‘filial’ yang berlaku pada hotel, toko. Lain pasal, beda kasus
dengan nomenklatur atau kantor parpol kecamatan. Antar toko berlabel sama,
pakai sistem cross subsidi. Harga tertera di rak sesuai daya belanja
penduduk sekitar atau calon pembeli yang liwat. Tampak merakyat, pakai
iming-iming diskon.
Globalisasi, pasar bebas dunia hingga pemikiran politik berdaya jangkau
menembus batas waktu dan mendekatkan jarak tempat.
Simak UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan: Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah kabupaten/kota
memerlukan peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap Daerah kabupaten/kota.
Asumsi sejarah memang sedemikian aktual, faktual. Ketika rakyat pasca
menyerahkan hak politiknya kepada wakil rakyat, kepala daerah maupun kepala
negara. Tinggal terima nasib, terima jadi serta yang tak punya hak ajukan
protes, petisi apalagi unjuk rasa, unjuk raga. Eksistensi, jati diri presiden
saja hanya sebatas, selaku petugas partai.
Di atas kursi masih ada kursi. Di
kolong langit, di atas hamparan bumi Pancasila, kawasan nusantara.
Analog keterbalikan 180 derajat. Di balik amanat penderitaan rakyat, seperti
ada peluang, kesempatan pihak terpercaya untuk ambil sikap tindak bebas. Bisnis
politik menjadikan pihak pembeli kepercayaan, merasa berhak menentukan nasib
bangsa.
Skenario, konspirasi global sejalan dengan syarat tak tertulis utang luar
negeri. Dinamis dan berubah setap saat tanpa komromi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar