Halaman

Minggu, 07 Mei 2017

Indonesia-ku dan apa daya ilmu tak sampai



Indonesia-ku dan apa daya ilmu tak sampai

Indonesia masih terjebak pada gonjang-ganjing regenerasi kepemimpinan nasional. Pengkaderan, pembibitan mulai dari bawah – seperti model kompetisi sepak bola tarkam – berbanding lurus dengan kebiri demokrasi. Ternyata salah.

Semangat dan jiwa otonomi daerah melahirkan fenomena orang kuat lokal, penguasa lokal, raja-raja kecil yang mengarah atau berbasis ke dinasti politik. Namanya politik, terjadi pasangan kepala daerah yang pecah kongsi atau tersandung pasal KKN karena terlanda penyakit “ora kuwat semat”. Menjadi pasien rawat inap KPK. Berbagai kasus yang tak pandang bulu.

Tercatat dalam catatan ringan atau ingatan rakyat, ada beberapa parpol sebagai perusahaan keluarga, atau bentuk lain dinasti politik, yang  gemilang menjadikan provinsi ataupun kabupaten/kota sebagai kerajaannya.

Semarak maraknya praktik “negara bayangan” dan “pemerintah informal” di provinsi maupun kabupaten/kota , maka tak ayal lagi pada periode 2014-2019 mengerucut menjadi bentukan jabatan  presiden senior. NKRI secara de facto dan de jure seperti dikotak-kotakan dalam bentuk negara provinsi maupun negara kabupaten/negara kota.

Politik uang, atau sumber daya keuangan, hanya baru bisa mengisi satu sisi syarat sukses di atas kertas. Perlu dilengkapi, dikompliti dengan sumber daya intimidasi. Memanfaatkan keloyalam instrumen keamanan lokal.

Efektivitas, keampuhan politik uang ditandai dengan kemampuan menawar kesetian relijius, etnik masyarakat lokal. Demi uang, banyak pula elemen masyarakat, kasta penduduk maupun strata warga negara yang siap sedia setia pasang badan.

Meluncurnya periode paruh akhir Jokowi plus/minus JK, semakin menampilkan surplus energi kebangsaan namun minus akal daya politik. Mau tak mau terpaksa memperpanjang bantuan dari negara paling bersahabat. Dilengkapi dengan mempraktikkan politik adu domba warisan Kompeni atau penjajah Belanda. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar