Indonesia-ku
dan apa daya ilmu tak sampai
Indonesia masih terjebak
pada gonjang-ganjing regenerasi kepemimpinan nasional. Pengkaderan, pembibitan
mulai dari bawah – seperti model kompetisi sepak bola tarkam – berbanding lurus
dengan kebiri demokrasi. Ternyata salah.
Semangat dan jiwa otonomi
daerah melahirkan fenomena orang kuat lokal, penguasa lokal, raja-raja kecil yang
mengarah atau berbasis ke dinasti politik. Namanya politik, terjadi pasangan
kepala daerah yang pecah kongsi atau tersandung pasal KKN karena terlanda
penyakit “ora kuwat semat”. Menjadi pasien rawat inap KPK. Berbagai kasus yang tak pandang bulu.
Tercatat dalam catatan
ringan atau ingatan rakyat, ada beberapa parpol sebagai perusahaan keluarga, atau bentuk
lain dinasti politik, yang gemilang
menjadikan provinsi ataupun kabupaten/kota sebagai kerajaannya.
Semarak maraknya praktik “negara bayangan” dan “pemerintah
informal” di provinsi maupun kabupaten/kota , maka tak ayal lagi pada periode
2014-2019 mengerucut menjadi bentukan jabatan presiden senior. NKRI secara de facto dan de jure seperti dikotak-kotakan dalam bentuk negara provinsi maupun
negara kabupaten/negara kota.
Politik uang, atau sumber daya keuangan, hanya baru bisa mengisi
satu sisi syarat sukses di atas kertas. Perlu dilengkapi, dikompliti dengan
sumber daya intimidasi. Memanfaatkan keloyalam instrumen keamanan lokal.
Efektivitas, keampuhan politik uang ditandai dengan
kemampuan menawar kesetian relijius, etnik masyarakat lokal. Demi uang, banyak
pula elemen masyarakat, kasta penduduk maupun strata warga negara yang siap
sedia setia pasang badan.
Meluncurnya periode paruh akhir Jokowi plus/minus JK,
semakin menampilkan surplus energi kebangsaan
namun minus akal daya politik. Mau tak mau terpaksa memperpanjang bantuan dari
negara paling bersahabat. Dilengkapi dengan mempraktikkan politik adu domba
warisan Kompeni atau penjajah Belanda. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar