Mulanya Kelola Pulau
Saja
Dengan dalih
melaksanakan agenda Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita), di zaman Orde
Baru, pemerintah saat itu membuat instrumen hukum (legal
instrument) yang dimulai dengan menetapkan UU 1/ 1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU 6/1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN). Singkat riwayat, pintu investasi asing dan swasta untuk mendapat konsési hutan terbuka lebar. Pemilik
modal asing berduyun-duyun menanamkan modalnya di Indonesia.
Sejak saat itu, para investor diberi izin untuk menebang hutan. Dikenal dengan sebutan Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Konsési HPH berlaku untuk hutan di luar Jawa, terutama hutan di pulau Sumatera dan
pulau Kalimantan. Dukungan pemerintah disertai dengan dibekukannya hak-hak
masyarakat adat pada tahun 1970-an.
Efek domino HPH, meskipun banyak HPH yang berhenti beroperasi karena
berbagai alasan. Pada masa pasca Orde Baru, tingkat deforestasi justru semakin
tinggi. Kita mengenal penggundulan hutan, pembabatan hutan atau maraknya illegal logging. Keberadan hutan
Indonesia terus terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan
oleh kebakaran hutan atau karhutla, legal logging dan illegal logging.
Semangat otonomi daerah berdampak pada laju deforestasi. Munculnya konflik
lahan di berbagai daerah dan provinsi, disebabkan oleh isu hak-hak hutan adat,
otonomi dan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam. Jika pada 2016 karhutla kembali terjadi, dipastikan ada kekuatan
konglomerasi, sindikasi yang bermain.
Rantai kebakaran hutan dimulai dari
klaim lahan, tebas dan pembersihan, pembakaran, dan penanaman sawit atau
akasia. Aktor-aktor yang terhubung dengan kegiatan pembalakan liar merupakan
aktor kunci yang mengetahui wilayah-wilayah yang ‘belum ada pemilik’ atau
ditinggalkan ‘pemilik’nya seperti lahan eks-HPH (openaccess). (sumber: https://www.researchgate.net/publication/294721273)
Analog dengan HPH, jika kita renungkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi
jika asing kelola pulau. Awalnya hanya kelola saja. Waktu kelola yang melebihi
periode jabatan kepala daerah, menjadi masalah tersendiri. Bagaimana bentuk
pemantauan dan pengendalian untuk mengetahui adanya praktik menyimpang sejak
dini. Kalau kelola pulau dalam bentuk otoritas, semakin menambah beban
pemerintah daerah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar