toléransi rakyat tanpa pamrih dan tanpa kalkulasi
politik
Jikalau pemerintah
menggembar-gemborkan, mengkumandangkan, mendengungkan, agar rakyat berperilaku
toléransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sudah
ketinggalan zaman. Lupa kalau semangat dan jiwa Bhinneka Tunggal Ika serta sila
ketiga Pancasila yang berujar Persatuan Indonesia digali dari relung hati
rakyat. Sudah merupakan menu harian rakyat.
Katakan, jadinya pondasi
terkuat toléransi ada di rakyat. Yang memberi beban justru perilaku pejabat
atau penyelenggara negara. Sikap toléransi, tenggang rasa bukan warisan dari
pemimpin bangsa, apalagi yang gemar mengedepankan dan kepentingan partai
politiknya.
Antar rakyat, sesama rakyat
yang terikat oleh teritorial, tempat tinggal atau profesi, dimana rasa
paguyuban masih berlaku serta didukung kerukunan antar tetangga, jangan tanya soal
toléransi. Tahu berbeda dalam beberapa hal, atau bahkan yang medasar, bukan
alasan untuk tidak akur.
Masyarakat yang
heterogen sebagai ciri bangsa, masih menjunjung tinggi adab bermasyarakat. Terasa
lebih kental di desa atau kehidupan yang merupakan kaum pendatang. Menghadapai problematik
kehidupan yang sama, mau tak mau, rasa kebersamaan akan bangkit dan terjalin.
Pelaku pengobok-obok
persatuan tentu ada maunya. Katakan apa adanya kawan, oknum pemain, pelaku,
pegiat, pekerja partai politik, entah wajah mana yang akan ditampilkan. Nyatanya,
namanya kepentingan, di internal parpol bisa memacu dan memicu konflik
berkepanjangan. Mendukung kebijakan partau atau perintah ketua umum, satu kader
mempunyai lebih dari satu pendapat atau respon.
Kalkulasi politik
membuahkan ada kader yang tampak bak anak manis, serba penurut. Ada juga yang
bertingkah sebaliknya. Atau awalnya tampak malu-malu, lama-lama tak tahu malu.
Lama-kelamaan, jajaran luar barisan loyalis
parpol, berupa loyalis kenikmatan dunia, selalu siap politik belah bambu.
Mereka bermain di antara dua pihak yang sedang konflik. Mengambil keuntungan
dari dua kubu yang sedang sibuk berseteru.
Ada pihak, kelompok
tertentu yang merupakan perpanjangan tangan penguasa. Ada yang menjadi obyek pihak
berwenang, berwajib sebagai warga binaan. Ibarat pedagang pengoplos oli, yang
mampu menyulap oli bekas menjadi oli aspal. Kalau masyarakat aman-aman saja,
adem-ayem tanpa keributan, menjadi petaka bagi ahli penjinak huru-hara.
Makanya, kondisi masyarakat direkayasa sampai gejolak suhu tertentu. Agar tetap
terjaga situasi dan kondisi semacam “proyek perang”.
Toléransi di panggung politik, bersifat formal, seremonial
dan pemanis demokrasi. Walau bukan asas sama rasa, sama rata. Bagi hasil
kekuasaan tentu sesuai selera yang membagi. Perimbangan antara kebutuhan,
kepentingan antara yang minoritas dengan yang mayoritas tidak secara
proporsional.
Sebagai tahun ketiga
yang juga sebagai tengah periode, apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa
berkeringat banyak tetapi tidak mendapat imbalan yang sepandan, apakah akan
menggunting dalam lipatan. Atau malah main sendiri.
Atau sama-sama
menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Persatuan
antar penyelenggara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa depan.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar