Halaman

Jumat, 27 Januari 2017

toléransi rakyat tanpa pamrih dan tanpa kalkulasi politik



toléransi rakyat tanpa pamrih dan tanpa kalkulasi politik

Jikalau pemerintah menggembar-gemborkan, mengkumandangkan, mendengungkan, agar rakyat berperilaku toléransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sudah ketinggalan zaman. Lupa kalau semangat dan jiwa Bhinneka Tunggal Ika serta sila ketiga Pancasila yang berujar Persatuan Indonesia digali dari relung hati rakyat. Sudah merupakan menu harian rakyat.

Katakan, jadinya pondasi terkuat toléransi ada di rakyat. Yang memberi beban justru perilaku pejabat atau penyelenggara negara. Sikap toléransi, tenggang rasa bukan warisan dari pemimpin bangsa, apalagi yang gemar mengedepankan dan kepentingan partai politiknya.

Antar rakyat, sesama rakyat yang terikat oleh teritorial, tempat tinggal atau profesi, dimana rasa paguyuban masih berlaku serta didukung kerukunan antar tetangga, jangan tanya soal toléransi. Tahu berbeda dalam beberapa hal, atau bahkan yang medasar, bukan alasan untuk tidak akur.

Masyarakat yang heterogen sebagai ciri bangsa, masih menjunjung tinggi adab bermasyarakat. Terasa lebih kental di desa atau kehidupan yang merupakan kaum pendatang. Menghadapai problematik kehidupan yang sama, mau tak mau, rasa kebersamaan akan bangkit dan terjalin.

Pelaku pengobok-obok persatuan tentu ada maunya. Katakan apa adanya kawan, oknum pemain, pelaku, pegiat, pekerja partai politik, entah wajah mana yang akan ditampilkan. Nyatanya, namanya kepentingan, di internal parpol bisa memacu dan memicu konflik berkepanjangan. Mendukung kebijakan partau atau perintah ketua umum, satu kader mempunyai lebih dari satu pendapat atau respon.

Kalkulasi politik membuahkan ada kader yang tampak bak anak manis, serba penurut. Ada juga yang bertingkah sebaliknya. Atau awalnya tampak malu-malu, lama-lama tak tahu malu.

 Lama-kelamaan, jajaran luar barisan loyalis parpol, berupa loyalis kenikmatan dunia, selalu siap politik belah bambu. Mereka bermain di antara dua pihak yang sedang konflik. Mengambil keuntungan dari dua kubu yang sedang sibuk berseteru.

Ada pihak, kelompok tertentu yang merupakan perpanjangan tangan penguasa. Ada yang menjadi obyek pihak berwenang, berwajib sebagai warga binaan. Ibarat pedagang pengoplos oli, yang mampu menyulap oli bekas menjadi oli aspal. Kalau masyarakat aman-aman saja, adem-ayem tanpa keributan, menjadi petaka bagi ahli penjinak huru-hara. Makanya, kondisi masyarakat direkayasa sampai gejolak suhu tertentu. Agar tetap terjaga situasi dan kondisi semacam “proyek perang”.

Toléransi  di panggung politik, bersifat formal, seremonial dan pemanis demokrasi. Walau bukan asas sama rasa, sama rata. Bagi hasil kekuasaan tentu sesuai selera yang membagi. Perimbangan antara kebutuhan, kepentingan antara yang minoritas dengan yang mayoritas tidak secara proporsional.

Sebagai tahun ketiga yang juga sebagai tengah periode, apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat banyak tetapi tidak mendapat imbalan yang sepandan, apakah akan menggunting dalam lipatan. Atau malah main sendiri.

Atau sama-sama menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Persatuan antar penyelenggara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa depan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar