Halaman

Sabtu, 21 Januari 2017

korélasi antara sila Pancasila dengan tahun periode pemerintah



korélasi antara sila Pancasila dengan tahun periode pemerintah


Harapan pertama dan utama rakyat pada setiap pemilu legislatif, pilpres maupun pilkada adalah munculnya wajah baru.  Tidak pakai embel-embel. Motivasi rakyat menentukan pilihannya, sangat sederhana : rasa percaya. Rakyat sudah paham bahwasanya kepala negara, wakil rakyat, kepala daerah walau tidak kenal secara pribadi dengan pertimbangan bahwa pilihannya dapat dipercaya atau yang amanah. Diharapkan nantinya dapat menjalankan kewajibannya yang didukung oleh berbagai perangkat kewenangan dan setumpuk otoritasnya, semata-mata hanya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Optimisme rakyat bisa mendadak sirna, ketika hanya melihat muka lama tampil lagi. Semakin pesimisme jika melihat rekam jejak partai politik pengusungnya. Tak ayal, momentum ini “menguntungkan” muka baru dan khususnya dari partai politik baru.  Rakyat yang walau buta politik, tetapi hati nuraninya tidak buta saat memilih, menentukan pilihannya atau mencoblos pilihannya.

Perjalanan politik dalam satu periode pemerintahan, tak akan lepas dari berbagai gejolak dan sangat dinamis. Praktiknya, terdapat bongkar pasang kekuatan di kutub pemerintah. Kesimbangan yang dinamis antar eksekutif  legislatif  yudikatif, selalu tidak proporsional, apalagi saling memperkokoh demi kepentingan nasional. Ujung-ujungnya malah menjadi sumber utama aneka konflik. Kepentingan golongan, kebutuhan individu penguasa mendominasi langkah catur politik.

Apa saja yang terjadi, mulai dari tahun pertama pasca pelantikan dan penyumpahan penylenggara negara, ternyata memang terkait dengan Pancasila. Bagaimana bisa. Tiap tahun tidak titipikal. Kendati target fisik dan sasaran fungsional pembangunan nasional dibagi habis ke tiap tahun kelender/tahun anggaran.

Ayo kita simak, apakah esensi, hakikat dari tiap sila Pancasila. Agar lebih merasuk kerelung jiwa yang paling hakiki, saya coba versi teks ungkapan tradisional yang mengerucutkan bagaimana rakyat memahami Pancasila. Katanya. Langsung terhubung antara urutan sila Pancasila dengan urutan tahun periode pemerintah. Saya ambil secara acak dari periode 2004-2009, 2009-2014 dan 2014-2019 yang sedang dan masih berlangsung. Para pendiri bangsa saat itu hanya melanjutkan tradisi yang sudah ada yang diramu dan diwujudkan dalam sila Pancasila.

Sila pertama : Ketuhanan  Ketuhanan Yang Maha Esa. Betapa agama adalah tiang kehidupan sesuai ketentuan tiap agama langit maupun agama bumi yang ada di NKRI. Tak heran, tapi ironisnya ciri demokrasi di Indonesia. Setiap pemenang selalu akan direcoki oleh yang kalah. Paling bikin miris, kalau pihak pemenang ternyata tidak siap menang.

Rakyat bersyukur karena pesta demokrasi, apapun hasilnya, telah usai. Emisi, enerji rakyat terkuras oleh hura-hura yang tidak bermanfaat apa-apa buat rakyat. Pemenang tepuk dada, berkipas-kipas telah berhasil melibas lawan politik. Terbukti, para oknum relawan bersyukur akan mendapat kue kemenangan. Modal mulut saja bisa kebagian kursi kekuasaan. Apalagi dinasti politik partai politik pemenang pemilu legislatif dan pilpres.

Sambut kemenangan, bak merasa pahlawan yang berhasil menundukkan lawan di medan laga. Akhirnya, politik menjadi agama baru di bumi Nusantara. Bukan begitu kawan. Tak salah kalau tahun pertama masih terasa rasa syukur dan menimbulkan pihak yang merasa paling berjasa. Diimbangi dengan politik balas dendam.

Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab. Maksud yang diharap adalah bangsa ini agar realistis menghadapi kehidupan atau kenyataan hidup. Karena aneka kepentingan mewarnai pembentukan pemerintah.  Tahun kedua, pihak pemenang semakin menancapkan cakarnya agar tampak eksis.

Dendam politik malah semakin membara. Kalkulasi politik tidak menunjukkan gejala atau bukti yang menggembirakan, menguntungkan. Minimal sesuai target kebijakan partai. Campur tangan pemodal atau bandar politik yang menentukan suskses pesta demokrasi, semakin nyata dan terang-terangan.

Bentuk rasa terima kasih tidak hanya ditujukan buat relawan tetapi justru diutamakan kepada pihak sponsor politik yang seolah tangan tak terlihat. Namanya era keterbukaan, justro orang yang dengan tangan tak terlihat, malah disambut masuk bebas ke rumahs sendiri dengan tangan terbuka. Bilamana perlu disambut dengan gelar karpet merah dan tuan rumah akam sambut mesra kawan.

Sila ketiga : Persatuan Indonesia. Apalagi kalau tidak mengerucut pada makna kebersamaan. Bukan sama rasa, sama rata. Bagi hasil kekuasaan tentu sesuai selera yang membagi. Perimbangan antara kebutuhan, kepentingan antara yang minoritas dengan yang mayoritas tidak secara proporsional.

Sebagai tahun ketiga yang juga sebagai tengah periode, apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat banyak tetapi tidak mendapat imbalan yang sepandan, apakah akan menggunting dalam lipatan. Atau malah main sendiri.

Atau sama-sama menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Persatuan antar penyelenggara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa depan.

Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Maunya terjadi asas tertib religi, rukun tatanan sosial, dan ramah lingkungan. Hasilnya sama-sama babak belur. Sama-sama saling memlintir kebijakan pemerintah sebagai perwujudan kebijakan partai. Yang jadi korban, dari periode ke periode, tetap rakyat. Gaung DPD sebelum mekar sudah digembosi.

Internal fraksi di DPR, acap tidak satu suara atau suara bulat. Pembelotan, pembangkangan.mbalelo terhadap otoritas ketua umum sudah terjadi. Sudah memikirkan nasib pasca periode. Jangan heran kalau akhirnya para wakil rakyat yang terhormat bisa naik derajat, pangkat, martabat dan harkat - antara lain menjadi konglomerat mini. Jangan sampai setelah urus rakyat, dirinya malah tak terurus.

Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu ditujukan kepada penguasa. Diharapkan bukan sekedar bak sosok Ratu Adil, tetapi pemimpin yang adil dan bijaksana. Bisa memenuhi kebutuhan lahir batin rakyat Indonesia.

Namanya tahun terakhir, hitung-hitungan sudah berlaku. Bagi penyelenggara negara yang sudah periode, jelas akan angkat koper. Entah seberapa sedikit isinya. Yang masih punya kesempatan dan peluang maju ke periode kedua, tentu sudah punya strategi. Sudah menyiapkan amunisi untuk berlanjut. Sudah memuluskan jalan yang akan dilewati menuju periode selanjutnya. Pihak yang pasang badang sudah siap sesuai posisi dan porsinya.

Jangan disalahkan kalau utang luar negeri semakin membengkak, menggunung dan menjadi PR pemerintah yad. Karena dalih mengadilmakmuran dan mensejahterakan rakyat, selain digapai, dicapai, diraih dengan ketahanan pangan, cinta produk dalam negeri, pemanfaatan tenaga lokal serta distimulus dengan revolusi mental, mau tak mau, rayuan lembaga donor asing diterima. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar