korélasi antara sila Pancasila dengan tahun periode pemerintah
Harapan pertama dan utama rakyat
pada setiap pemilu legislatif, pilpres maupun pilkada adalah munculnya wajah
baru. Tidak pakai embel-embel. Motivasi
rakyat menentukan pilihannya, sangat sederhana : rasa percaya. Rakyat sudah
paham bahwasanya kepala negara, wakil rakyat, kepala daerah – walau tidak kenal secara pribadi – dengan pertimbangan bahwa pilihannya
dapat dipercaya atau yang amanah. Diharapkan nantinya dapat menjalankan kewajibannya
yang didukung oleh berbagai perangkat kewenangan dan setumpuk otoritasnya,
semata-mata hanya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Optimisme rakyat bisa mendadak
sirna, ketika hanya melihat muka lama tampil lagi. Semakin pesimisme jika
melihat rekam jejak partai politik pengusungnya. Tak ayal, momentum ini
“menguntungkan” muka baru dan khususnya dari partai politik baru. Rakyat yang walau buta politik, tetapi hati nuraninya
tidak buta saat memilih, menentukan pilihannya atau mencoblos pilihannya.
Perjalanan politik dalam satu
periode pemerintahan, tak akan lepas dari berbagai gejolak dan sangat dinamis. Praktiknya,
terdapat bongkar pasang kekuatan di kutub pemerintah. Kesimbangan yang dinamis
antar eksekutif – legislatif – yudikatif, selalu tidak
proporsional, apalagi saling memperkokoh demi kepentingan nasional. Ujung-ujungnya
malah menjadi sumber utama aneka konflik. Kepentingan golongan, kebutuhan
individu penguasa mendominasi langkah catur politik.
Apa saja yang terjadi, mulai dari
tahun pertama pasca pelantikan dan penyumpahan penylenggara negara, ternyata
memang terkait dengan Pancasila. Bagaimana bisa. Tiap tahun tidak titipikal. Kendati
target fisik dan sasaran fungsional pembangunan nasional dibagi habis ke tiap
tahun kelender/tahun anggaran.
Ayo kita simak, apakah esensi,
hakikat dari tiap sila Pancasila. Agar lebih merasuk kerelung jiwa yang paling
hakiki, saya coba versi teks ungkapan tradisional yang mengerucutkan bagaimana
rakyat memahami Pancasila. Katanya. Langsung terhubung antara urutan sila
Pancasila dengan urutan tahun periode pemerintah. Saya ambil secara acak dari
periode 2004-2009, 2009-2014 dan 2014-2019 yang sedang dan masih berlangsung. Para pendiri bangsa saat itu hanya melanjutkan tradisi
yang sudah ada yang diramu dan diwujudkan dalam sila Pancasila.
Sila pertama : Ketuhanan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Betapa agama adalah tiang kehidupan sesuai ketentuan tiap agama
langit maupun agama bumi yang ada di NKRI. Tak heran, tapi ironisnya ciri
demokrasi di Indonesia. Setiap pemenang selalu akan direcoki oleh yang kalah. Paling
bikin miris, kalau pihak pemenang ternyata tidak siap menang.
Rakyat bersyukur karena pesta demokrasi, apapun hasilnya,
telah usai. Emisi, enerji rakyat terkuras oleh hura-hura yang tidak bermanfaat
apa-apa buat rakyat. Pemenang tepuk dada, berkipas-kipas telah berhasil melibas
lawan politik. Terbukti, para oknum relawan bersyukur akan mendapat kue
kemenangan. Modal mulut saja bisa kebagian kursi kekuasaan. Apalagi dinasti
politik partai politik pemenang pemilu legislatif dan pilpres.
Sambut kemenangan, bak merasa pahlawan yang berhasil
menundukkan lawan di medan laga. Akhirnya, politik menjadi agama baru di bumi
Nusantara. Bukan begitu kawan. Tak salah kalau tahun pertama masih terasa rasa
syukur dan menimbulkan pihak yang merasa paling berjasa. Diimbangi dengan
politik balas dendam.
Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab. Maksud yang diharap
adalah bangsa ini agar realistis menghadapi kehidupan atau kenyataan hidup. Karena
aneka kepentingan mewarnai pembentukan pemerintah. Tahun kedua, pihak pemenang semakin
menancapkan cakarnya agar tampak eksis.
Dendam politik malah semakin membara. Kalkulasi politik
tidak menunjukkan gejala atau bukti yang menggembirakan, menguntungkan. Minimal
sesuai target kebijakan partai. Campur tangan pemodal atau bandar politik yang
menentukan suskses pesta demokrasi, semakin nyata dan terang-terangan.
Bentuk rasa terima kasih tidak hanya ditujukan buat
relawan tetapi justru diutamakan kepada pihak sponsor politik yang seolah
tangan tak terlihat. Namanya era keterbukaan, justro orang yang dengan tangan
tak terlihat, malah disambut masuk bebas ke rumahs sendiri dengan tangan
terbuka. Bilamana perlu disambut dengan gelar karpet merah dan tuan rumah akam
sambut mesra kawan.
Sila ketiga : Persatuan Indonesia. Apalagi kalau tidak mengerucut
pada makna kebersamaan. Bukan sama rasa, sama rata. Bagi hasil kekuasaan tentu
sesuai selera yang membagi. Perimbangan antara kebutuhan, kepentingan antara
yang minoritas dengan yang mayoritas tidak secara proporsional.
Sebagai tahun ketiga yang juga sebagai tengah periode,
apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat banyak tetapi tidak mendapat
imbalan yang sepandan, apakah akan menggunting dalam lipatan. Atau malah main sendiri.
Atau sama-sama menggerogoti tiang kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Persatuan antar penyelenggara mempertaruhkan masa
depan generasi pewaris masa depan.
Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Maunya terjadi asas tertib religi, rukun
tatanan sosial, dan ramah lingkungan. Hasilnya sama-sama babak belur. Sama-sama saling
memlintir kebijakan pemerintah sebagai perwujudan kebijakan partai. Yang jadi
korban, dari periode ke periode, tetap rakyat. Gaung DPD sebelum mekar sudah digembosi.
Internal fraksi di DPR, acap
tidak satu suara atau suara bulat. Pembelotan, pembangkangan.mbalelo terhadap otoritas ketua umum
sudah terjadi. Sudah memikirkan nasib pasca periode. Jangan heran kalau
akhirnya para wakil rakyat yang terhormat bisa naik derajat, pangkat, martabat
dan harkat - antara lain menjadi konglomerat mini. Jangan sampai setelah urus
rakyat, dirinya malah tak terurus.
Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu ditujukan kepada
penguasa. Diharapkan bukan sekedar bak sosok Ratu Adil, tetapi pemimpin yang
adil dan bijaksana. Bisa memenuhi kebutuhan lahir batin rakyat Indonesia.
Namanya tahun
terakhir, hitung-hitungan sudah berlaku. Bagi penyelenggara negara yang sudah
periode, jelas akan angkat koper. Entah seberapa sedikit isinya. Yang masih
punya kesempatan dan peluang maju ke periode kedua, tentu sudah punya strategi.
Sudah menyiapkan amunisi untuk berlanjut. Sudah memuluskan jalan yang akan
dilewati menuju periode selanjutnya. Pihak yang pasang badang sudah siap sesuai
posisi dan porsinya.
Jangan disalahkan
kalau utang luar negeri semakin membengkak, menggunung dan menjadi PR
pemerintah yad. Karena dalih mengadilmakmuran dan mensejahterakan rakyat,
selain digapai, dicapai, diraih dengan ketahanan pangan, cinta produk dalam
negeri, pemanfaatan tenaga lokal serta distimulus dengan revolusi mental, mau
tak mau, rayuan lembaga donor asing diterima. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar