satu presiden dengan anekarupa
dan serba citra
Kejadiannya memang tidak pernah terjadi. Tercatat dalam sejarah, ingatan,
dan pitutur, piwulang dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Di era reformasi
ini entah sudah turunan keberapa yang tetap percaya dengan kisah fantasi,
fenomenal tersebut.
Bukan wayang purwa. Bukan wayang terkini. Tiap bangsa mempunyai legenda
yang serupa tetapi tidak sebentuk. Di satu negara, “presiden” disesuaikan
dengan jabatan tertinggi di daerahnya.kurang menarik. Dianggap mengada-ada,
merekayasa, provokatif, ujaran kenistaan, berita bohong tapi resmi, mencemarkan
nama-nama pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kesaksian sejarah malah seolah-olah tokoh, sosok, atau rekaan purwa rupa
tersebut malah dianggap ada. Kalau tidak ada, dimirip-miripkan dengan kejadian
yang sedang terjadi. Ironisnya, ada yang berharap munculnya Ratu Adil,
timbulnya Satria Piningit. Tentunya melalui wangsit. Bukan dukun tiban. Dukun pengganda
uang dan pengganda kepercayaan masyarakat.
Para pemuja dan pemuji hari ini,yang percaya tidak ada hari akhir, sepakat
tanpa mufakat, untuk menetapkan siapa figur dimaksud. Tiba-tiba, banyak anak
bangsa dari segala jenis kelamin, merasa sebagai presiden. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar