Halaman

Jumat, 13 Januari 2017

Pulau Kecil Bukan Pulau Terlantar



Pulau Kecil Bukan Pulau Terlantar

Jika UU 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, fokus pada Pasal 1 angka 3, tersurat :  Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

Bayangan kita, seberapa kecilnya pulau kecil dimaksud. Sebagai pembanding, kita simak luas kabupaten administrasi Kepulauan Seribu yang bukan merupakan Daerah Otonom, termasuk 110 pulau, ternyata hanya  seluas 8,70 km².

Jika asing kelola pulau, apa kata dunia. Kita simak Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 4/2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, fokus pada Pasal 1 angka 3, tersurat :  Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

Tersirat pihak asing bisa pada posisi pemegang pulau kecil.

Menyimak Pasal 1 angka 6 Perkep BPN 4/2010, tersurat : Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Praktek admnistrasi pertanahan dan keagrariaan yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya P4T yaitu mengenai pengaturan dan pengurusan bidang-bidang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Apa jadinya jika pihak asing mengusahakan, menggunakan, serta memanfaatkan pulau kecil. Kendati sebatas “sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya”.

Pemerintah saja perlu enerji khusus untuk mengatasi permukiman kumuh di lahan illegal. Belum kasus lainnya, seperti penyerobotan tanah negara, rumah liar di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, di bawah SUTET atau di tanah terlantar, tanah tak bertuan, penambangan liar, spekulan tanah serta berbagai kasus yang muncul di permukaan. Akhirnya terkadang pemerintah kabupaten/kota tutup mata, pura-pura tidak tahu atas kasus tanah di wilayahnya.

Artinya, praktik gusur oleh pemprov maupun pemkab/pemkot pasti dapat perlawanan dari penghuninya. Ganti rugi, kerohiman, tidak serta merta memudahkan proses.

Bayangkan jika pihak asing mengelola pulau kecil, walau ada batasan waktu, tentu akan sulit diminta kembali. Atau pulau kecil akan dikembalikan setelah habis-habisan dimanfaatkan dan tinggal ampasnya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar