Pulau Kecil Bukan Pulau Terlantar
Jika UU 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, fokus pada Pasal 1 angka 3,
tersurat : Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu
kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
Bayangan kita, seberapa kecilnya pulau kecil dimaksud. Sebagai pembanding,
kita simak luas kabupaten administrasi Kepulauan Seribu yang bukan
merupakan Daerah Otonom, termasuk 110 pulau, ternyata hanya seluas 8,70 km².
Jika asing kelola pulau, apa kata
dunia. Kita simak Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia 4/2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, fokus pada Pasal 1 angka 3, tersurat : Hak Pengelolaan
adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya.
Tersirat pihak asing bisa
pada posisi pemegang pulau kecil.
Menyimak Pasal 1 angka 6
Perkep BPN 4/2010, tersurat : Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan
hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan,
tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat
dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Praktek admnistrasi pertanahan dan keagrariaan yang
dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya P4T yaitu mengenai pengaturan
dan pengurusan bidang-bidang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah.
Apa jadinya jika pihak
asing mengusahakan, menggunakan, serta memanfaatkan pulau kecil. Kendati sebatas
“sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya”.
Pemerintah saja perlu
enerji khusus untuk mengatasi permukiman kumuh di lahan illegal. Belum kasus
lainnya, seperti penyerobotan tanah negara, rumah liar di bantaran sungai,
bantaran rel kereta api, di bawah SUTET atau di tanah terlantar, tanah tak
bertuan, penambangan liar, spekulan tanah serta berbagai kasus yang muncul di
permukaan. Akhirnya terkadang pemerintah kabupaten/kota tutup mata, pura-pura
tidak tahu atas kasus tanah di wilayahnya.
Artinya, praktik gusur
oleh pemprov maupun pemkab/pemkot pasti dapat perlawanan dari penghuninya. Ganti
rugi, kerohiman, tidak serta merta memudahkan proses.
Bayangkan jika pihak
asing mengelola pulau kecil, walau ada batasan waktu, tentu akan sulit diminta
kembali. Atau pulau kecil akan dikembalikan setelah habis-habisan dimanfaatkan
dan tinggal ampasnya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar