hoax : keterbelakangan mental gaya nungging
Ternyata, akhirnya
sebagaian dari anak bangsa sadar diri, mawas diri. Niat mau ikuti jejak
koruptor, dibuang jauh-jauh. Dikira, dengan modal nekat atau bonel, bisa tenar
masuk TV sebagai bintang tamu karena terjerat pasal tipikor. Tahu modalnya,
waktu yang dibutuhkan serta dukungan politik, banyak yang urung mengikuti
langkah panjang rekam jejak sang koruptor.
Merasa betapa ribet dan susahnya mencari pekerjaan yang haram. Banyak
pesaingnya. Banyak antrian. Banyak yang duduk manis di bangku cadangan.
Akhirnya, semua peluang dan kesempatan dijadikan ajang mencari ‘uang bensin’,
tambahan ‘uang rokok’, impasan ‘uang lelah.
Lahirlah genereasi pe-hoax. Mereka
mencari keuntungan di antara dua pihak yang berseteru. Mendapat dua kesempatan,
peluang sekaligus dari dua kutub yang sedang konflik. Memanfaatkan momentum
laga duel antara dua kekuatan raksasa.
Ironisnya, kendati ada UU ITE, ujaran kebencian atau produk hukum yang
seolah anti-hoax, dalam praktiknya
malah menjadi sarana penyubur. Revolusi mental yang ditujukan utamanya kepada
penyelenggara negara, malah berdampak adanya celah yang mengilhami para oknum
pe-hoax.
Mental pe-hoax tidak mencari
penawar tertinggi. Yang penting ada pendapatan, pemasukan bulanan. Syukur mingguan.
Kerjanya seperti membuat virus yang dijual kepada pihak tertentu serta
sekaligus menciptakan penangkalnya yang dijual kepada pihak selebihnya. Modus operandinya
jauh di atas lembaga donor asing.
Semakin negara Indonesia terbuka secara budaya, dimungkinkan musuh dalam
selimut semakin meraja lela. Mereka jadi pemakan segala. Gaya apa pun dipakai. Kalau
perlu menciptakan gaya baru. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar