Halaman

Minggu, 08 Januari 2017

hoax : keterbelakangan mental gaya nungging



hoax : keterbelakangan mental gaya nungging

Ternyata, akhirnya sebagaian dari anak bangsa sadar diri, mawas diri. Niat mau ikuti jejak koruptor, dibuang jauh-jauh. Dikira, dengan modal nekat atau bonel, bisa tenar masuk TV sebagai bintang tamu karena terjerat pasal tipikor. Tahu modalnya, waktu yang dibutuhkan serta dukungan politik, banyak yang urung mengikuti langkah panjang rekam jejak sang koruptor.

Merasa betapa ribet dan susahnya mencari pekerjaan yang haram. Banyak pesaingnya. Banyak antrian. Banyak yang duduk manis di bangku cadangan. Akhirnya, semua peluang dan kesempatan dijadikan ajang mencari ‘uang bensin’, tambahan ‘uang rokok’, impasan ‘uang lelah.

Lahirlah genereasi pe-hoax. Mereka mencari keuntungan di antara dua pihak yang berseteru. Mendapat dua kesempatan, peluang sekaligus dari dua kutub yang sedang konflik. Memanfaatkan momentum laga duel antara dua kekuatan raksasa.

Ironisnya, kendati ada UU ITE, ujaran kebencian atau produk hukum yang seolah anti-hoax, dalam praktiknya malah menjadi sarana penyubur. Revolusi mental yang ditujukan utamanya kepada penyelenggara negara, malah berdampak adanya celah yang mengilhami para oknum pe-hoax.

Mental pe-hoax tidak mencari penawar tertinggi. Yang penting ada pendapatan, pemasukan bulanan. Syukur mingguan. Kerjanya seperti membuat virus yang dijual kepada pihak tertentu serta sekaligus menciptakan penangkalnya yang dijual kepada pihak selebihnya. Modus operandinya jauh di atas lembaga donor asing.

Semakin negara Indonesia terbuka secara budaya, dimungkinkan musuh dalam selimut semakin meraja lela. Mereka jadi pemakan segala. Gaya apa pun dipakai. Kalau perlu menciptakan gaya baru. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar