Halaman

Senin, 16 Januari 2017

buruk diri, aib orang dibongkar



buruk diri, aib orang dibongkar

Ujaran pepatah sejak zaman prakemerdekaan yaitu “buruk rupa, cermin dibelah”, zaman sekarang sudah usang. Kemajuan teknologi dan ilmu bedah wajah, vermak muka, poles tampang, sulap rupa, menjadikan seseorang lebih molek/rupawan dibanding aslinya. Dampaknya, minimal menambah rasa percaya diri, bahkan berlebih, bagi ybs. Merasa bebas omong apa saja, tak perlu sensor otak apalagi sensor hati.

Akibat kemajuan peradaban ideologi dan politik lokal, regional, maupun nasional, menjadikan anak bangsa mampu bermain watak. Tidak pandang gender, usia/umur dan martabat. Tidak sekedar bisa ber-dasa muka, tapi tampilan tiap saat selalu berubah wajah. Bisa seribu muka. Bahkan ybs sudah lupa dengan wajah aslinya. Muka lama yang tampak usang dibuang jauh-jauh. Pakai muka batu dan yang selalu baru.

Katakan apa adanya kawan, oknum pemain, pelaku, pegiat, pekerja partai politik, entah wajah mana yang akan ditampilkan. Lama-kelamaan, jajaran luar barisan loyalis parpol, berupa loyalis kenikmatan dunia, selalu siap “membelah kaca”. Mereka bermain di antara dua pihak yang sedang konflik. Mengambil keuntungan dari dua kubu yang sedang sibuk berseteru.

Ada yang merupakan perpanjangan tangan pengusa, ada yang menjadi warga binaan pihak berwenang, berwajib. Ibarat pedagang pengoplos oli, yang mampu menyulap oli bekas menjadi oli aspal. Kalau masyarakat aman-aman saja, adem-ayem tanpa keributan, menjadi petaka bagi ahli penjinak huru-hara. Makanya, kondisi masyarakat direkayasa sampai gejolak suhu tertentu. Agar tetap terjaga situasi dan kondisi semacam “proyek perang”.

Cara sederhana modus operandinya, cukup dengan melacak, mengendus aib orang lain. Jarum tetangga jatuh ke lantai, terdengar nyaring di teliga kita. Katakan, setingkat satpol PP mampu bunuh di tempat calon makar, tetapi tidak mampu berantas pungli di jajarannya sendiri. Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar