buruk diri,
aib orang dibongkar
Ujaran
pepatah sejak zaman prakemerdekaan yaitu “buruk rupa, cermin dibelah”, zaman
sekarang sudah usang. Kemajuan teknologi dan ilmu bedah wajah, vermak muka, poles
tampang, sulap rupa, menjadikan seseorang lebih molek/rupawan dibanding
aslinya. Dampaknya, minimal menambah rasa percaya diri, bahkan berlebih, bagi
ybs. Merasa bebas omong apa saja, tak perlu sensor otak apalagi sensor hati.
Akibat kemajuan
peradaban ideologi dan politik lokal, regional, maupun nasional, menjadikan
anak bangsa mampu bermain watak. Tidak pandang gender, usia/umur dan martabat. Tidak
sekedar bisa ber-dasa muka, tapi tampilan tiap saat selalu berubah wajah. Bisa seribu
muka. Bahkan ybs sudah lupa dengan wajah aslinya. Muka lama yang tampak usang dibuang
jauh-jauh. Pakai muka batu dan yang selalu baru.
Katakan
apa adanya kawan, oknum pemain, pelaku, pegiat, pekerja partai politik, entah
wajah mana yang akan ditampilkan. Lama-kelamaan, jajaran luar barisan loyalis
parpol, berupa loyalis kenikmatan dunia, selalu siap “membelah kaca”. Mereka bermain
di antara dua pihak yang sedang konflik. Mengambil keuntungan dari dua kubu
yang sedang sibuk berseteru.
Ada yang
merupakan perpanjangan tangan pengusa, ada yang menjadi warga binaan pihak
berwenang, berwajib. Ibarat pedagang pengoplos oli, yang mampu menyulap oli
bekas menjadi oli aspal. Kalau masyarakat aman-aman saja, adem-ayem tanpa keributan,
menjadi petaka bagi ahli penjinak huru-hara. Makanya, kondisi masyarakat
direkayasa sampai gejolak suhu tertentu. Agar tetap terjaga situasi dan kondisi
semacam “proyek perang”.
Cara sederhana
modus operandinya, cukup dengan melacak, mengendus aib orang lain. Jarum tetangga
jatuh ke lantai, terdengar nyaring di teliga kita. Katakan, setingkat satpol PP
mampu bunuh di tempat calon makar, tetapi tidak mampu berantas pungli di
jajarannya sendiri. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar