Halaman

Selasa, 24 Januari 2017

pasca era mégatéga, pulihkan mental generasi pewaris masa depan



pasca era mégatéga, pulihkan mental generasi pewaris masa depan

Benang merah antara budaya peninggalan penjajah Belanda dengan budaya yang masih dilestarikan secara politis oleh anak bangsa adalah budaya 5M (baca mo limo). Masyarakat Jawa memahami dampak, efek, ekses dari perbuatan 5M. Satu M saja sudah bikin puyeng, bisa rusak satu generasi, apalagi kalau 5M  terjadi secara formal, legal dan konstitusional.

Apa saja yang disebut 5M, kita sebaiknya mengetahui untuk menghindarinya. Urutannya tidak baku, karena semua M mempunyai posisi yang sama sebagai sumber atau pemacu dan pemicu berbagai tindak kejahatan. Bahkan antara 5M bisa saling terkait, terikat, seolah bekerja sama, bersinergi.

M pertama adalah Minum. Minuman halal pun bisa berdampak pada kesehatan, jiwa raga, jika dikonsumsi di luar takaran. Apalagi minuman yang kandungan senyawa kimiawinya, misal alcohol, menyebabkan peminumnya secara perlahan menanggalkan dan meninggalkan nilai kemanusiaan. Menenggak miras impor bermerk, demi gaya hidup, gaul dan gengsi. Kreativitas anak bangsa, di pelosok Nusantara, ahli mengoplos minuman keras. Berakhir maut merenggut, menjemput satu-satunya nyawa yang dipunyai. Menegak miras, di daerah tertentu bisa sebagai tradisi.

M kedua adalah Maling. Produk turunan tindak maling di era Reformasi adalah perampok uang negara. Pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) jelas tidak akan mengincar jemuran tetangga, tidak akan melirik uang receh di saku orang. Korupsi merusak satu generasi dan masa depan bangsa dan negara sudah digadaikan. Korupsi dilakukan secara sistematis, koordinatif dan kolektif kolegial. Semakin tinggi ilmu pelakunya, semakin rendah hukumannya. Semakin lihai adu mulut, main watak, pasal hukum buatan manusia bisa dimanipulir. Memasuki belantara korupsi harus secara total. Apakah tipikor sebagai produk utama, produk unggulan atau produk sampingan kebijakan partai. Sejarah yang membuktikan.

M ketiga adalah Main. Dengan kartu seolah bisa kaya mendadak. Dengan kursi (lambang kekuasaan formal) bisa kaya tujuh turunan. Menguber kursi legislatif dan eksekutif perlu modal. Banyak penggemar berjudi dengan nasib, mulai meminang kendaraan politik, sampai menimang untung rugi. Jual janji program kerja harus diimbangi dengan politik uang. Judi mencapai klimaksnya saat kampanye pesta demokrasi lima tahunan.

M keempat adalah Madat. Virus perusak moral semakin canggih. Manusia tidak perlu dijajah langsung, cukup dengan mengendalikan alam sadarnya dengan ramuan dan racikan setan. Narkoba atau apa pun sebutannya, menjadi solusi jitu untuk mempertahankan penampilan, berani tampil beda, menjaga imej. Teror narkoba bersifat dilematis dan dikotomis bagi pemerintah. Negara pemasok dalam ukuran menit bisa mengeruk keuntungan finansial. NKRI sebagai negara hukum, menempatkan bandar narkoba sebagai tamu terhormat di penjara. Doeloe, rakyat dibius penjajah Belanda dengan menghisap candu. Istilah Jawa : nyeret. Benda ‘candu. Menjadi dan memperkaya kosa kata. Misal, kecanduan sama dengan ketagihan. Memang penghisap candu akan selalu ketagihan untuk menghisap lagi.

M kelima adalah Madon. Artinya main perempuan. Emansipasi yang kebablasan berakibat pergaulan bebas. Pelakunya tanpa batas gender, usia dan teritorial. Serbuan budaya mancanegara ditelan mentah-mentah, tanpa dipilah dan dipilih. Budaya instan, modal minim ingin segera meraih sukses dunia atau mimpi tampil di layar putih. Berangan, berkhayal, berfantasi muncul di layar kaca atau bisa manggung, menambah panjang daftar skandal seks sekaligus menyuburkan perilaku menghalalkan seks bebas. Madon bersifat universal dengan maraknya LGBT.

Bayangkan, 24 jam dalam sehari semalam, tayangan media kaca, diperkuat ujaran penistaan tayang bebas di media massa dengan variannya, mau tak mau anak dlam kandungan sudah terkontaminasi secara sistetamtis.

Bangsa Indonesia semakin kehilangan panutan formal. Yang tampil, antara penyelenggara negara yang terhormat, bermartabat dengan penjahat klas kampung tidak ada bedanya. Sama-sama umbar kebencian dan kebodohan yang mendalam. Kalau pak RT bisa jadi tokoh dalam sinetron, film animasi atau bentuk tayangan lain,  dengan keluguan, kekonyolan, maka jangan heran di Indonesia ini, yang mantan pun bisa bertingkah aneh-aneh. Apalagi kalau merasa kursinya direbut lawan politik.

Ternyata, gerakan 5M masih belum berakhir . . .  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar