pekabar
berita bohong (hoax) vs politik adu
domba
Wajar jika sistem demokrasi yang sedang berlangsung
di Indonesia berdampak pada perubahan bertata negara. Apakah dampaknya berupa
perubahan berkemajuan atau perubahan mulai dari nol, pasca pesta demokrasi lima
tahunan.
Ironis, anak bangsa ini setiap jelang pilpres
selalu terkontaminasi oleh khayalan akan datangnya satria piningit. Orak-atik
makna ‘noto negoro’ untuk menebak nama yang pas untuk capres mendatang. Kandidat
lama atau kandidat baru, hanya dilihat sosoknya mirip atau tidaknya dengan
profil satria piningit.
Seolah hanya satria piningit yang jadi idola,
dambaan masyarakat Jawa. Bagaimana dengan penduduk suku lainnya. Tentunya mereka, apakah mengandalkan primbon
atau tidak, tentu punya jago yang siap maju ke ajang palagan pesta demokrasi.
namanya politik, yang penting berani maju sekaligus berani malu. Semangat emansipasi
ibu kita Kartini, ikut menyemarakkan pesta demokrasi.
Petani tanam padi, rumput, ilalang ikut tumbuh. Di pohon
rindang, dampak dari negara multipartai, acap dihiasi dengan benalu politik, parasit
politik.
Petualang politik di era Reformasi, bisa merupakan
produk unggulan partai politik atau sekedar produk bekas sensor yang dikemas
ulang, dipaket ulang, didaur ulang.
Isu makar, entah ide dari siapa, merupakan pertanda
seperti asas “senang melihat orang lain sedih, sedih melihat orang lain senang”.
Atau mereka yakin, jika ada kondisi iklim politik tertentu, maka pasal hantam
kromo, bumi hangus, babat habis atau sejenisnya bisa diterapkan secara
konstitusional.
Bukan berarti seperti semboyan “rakyat sehat,
dokter melarat” atau “rakyat sehat, perusahaan obat bangkrut”.
Efek hujan tidak merata di suatu sistem, adalah maraknya
barisan sakit hati. Pembagian roti/kue nasional tidak sampai ke akar rumput,
memaksa adanya gerakan anti kemapanan. Anti berkemajuan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar