berita sampah vs janji kampanye
Maksud hati memuja,
memuji, menyanjung Joko Widodo plus JK, lewat kehebatan dengan tata kata dan
editan foto, apadaya tidak mengetahui apa beda menjilat dengan menghujat. Ironisnya,
media massa sebagai produk pers, malah menayangkan iklan gambar obat kuat, awet
dan tahan lama khusus pasutri.
Pihak pemerintah pusat,
kurang mengakomodir berita daerah sebagai fakta aktual, autentik, orisinal, apa
adanya. Kalau ada, lebih percaya pada daerah binaan untuk membangun citra,
mendongkrak pamor. Intinya, cari ajang legimitasi akan harga diri sebagai
pemimpin.
Semangat otonomi daerah
menjadi sumber kemandirian yang seolah tak terbatas. Kepala desa yang dipilih
langsung oleh warga desa, mampu membuat sistem pemerintah desa dibawah kendali
satu penguasa. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik Indonesia
yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan. Kepala
Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Perubahan kedua UUD NRI 1945 menambah pasal baru, antara lain Pasal 28E
yang terdiri dari 3 (tiga) ayat. Fokus pada ayat (3) yang tersurat “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Ikhwal ‘mengeluarkan pendapat’ menjadi milik semua strata, kasta, klas penduduk. Penyelenggara negara,
pimpinan penerintah, pejabat public atau sebutan lainnya juga gemar
mempraktikkannya. Contoh hangat, penistaan agama oleh oknum gubernur ibukota
negara.
Generasi transisi yang lahir di era mewabahnya virus teknologi informasi
dan komunikasi, yang tidak gagap tenologi, bahkan melek teknologi sebelum
waktunya. Mereka kebal terhadap berita sampah yang dibuat sekaligus diedarkan
oleh kawanan penjilat/penghujat.
Udara Nusantara dipenuhi arus lalu lintas, frekuensi berita yang bukan
berita. Kabar yang bukan kabar. Informasi yang bukan informasi. Bisa-bisa,
memang bisa, akhirnya negeri ini bisa dikuasai oleh tukang ahli “berita”. Mudah
terbuai, terangsang oleh gambar, visualisasi. Tampilan judul berita yang
atraktif, spektakuler, provokatif.
Semakin anak bangsa mendewakan otak, akal, nalar, logika – atau kebalikannya
– malah untuk sekolah pun mahal, ribet, menjemukan, akhirnya menjadi warga
negara yang siap. Konon, jika orang Indonesia dengan puncak keilmuan masih
percaya, bahkan percaya berita palsu utawa hoax,
karena mereka memang bergelut dengan data dan informasi yang tertulis.
Jangan salahkan si pembuat/pengedar berita palsu utawa hoax. Karena susahnya mencari pekerjaan yang haram. Banyak
pesaingnya. Akhirnya, semua peluang dan kesempatan dijadikan ajang mencari ‘uang
bensin’. Ikatan emosional antar komunitas pe-hoax bersifat semu, tapi efek domino gerakannya nyata, masif dan
menerus. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar