Halaman

Kamis, 05 Januari 2017

berita sampah vs janji kampanye



berita sampah vs janji kampanye

Maksud hati memuja, memuji, menyanjung Joko Widodo plus JK, lewat kehebatan dengan tata kata dan editan foto, apadaya tidak mengetahui apa beda menjilat dengan menghujat. Ironisnya, media massa sebagai produk pers, malah menayangkan iklan gambar obat kuat, awet dan tahan lama khusus pasutri.

Pihak pemerintah pusat, kurang mengakomodir berita daerah sebagai fakta aktual, autentik, orisinal, apa adanya. Kalau ada, lebih percaya pada daerah binaan untuk membangun citra, mendongkrak pamor. Intinya, cari ajang legimitasi akan harga diri sebagai pemimpin.

Semangat otonomi daerah menjadi sumber kemandirian yang seolah tak terbatas. Kepala desa yang dipilih langsung oleh warga desa, mampu membuat sistem pemerintah desa dibawah kendali satu penguasa. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Perubahan kedua UUD NRI 1945 menambah pasal baru, antara lain Pasal 28E yang terdiri dari 3 (tiga) ayat. Fokus pada ayat (3) yang tersurat “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Ikhwal ‘mengeluarkan pendapat’ menjadi milik semua strata, kasta, klas penduduk. Penyelenggara negara, pimpinan penerintah, pejabat public atau sebutan lainnya juga gemar mempraktikkannya. Contoh hangat, penistaan agama oleh oknum gubernur ibukota negara.

Generasi transisi yang lahir di era mewabahnya virus teknologi informasi dan komunikasi, yang tidak gagap tenologi, bahkan melek teknologi sebelum waktunya. Mereka kebal terhadap berita sampah yang dibuat sekaligus diedarkan oleh kawanan penjilat/penghujat.

Udara Nusantara dipenuhi arus lalu lintas, frekuensi berita yang bukan berita. Kabar yang bukan kabar. Informasi yang bukan informasi. Bisa-bisa, memang bisa, akhirnya negeri ini bisa dikuasai oleh tukang ahli “berita”. Mudah terbuai, terangsang oleh gambar, visualisasi. Tampilan judul berita yang atraktif, spektakuler, provokatif.

Semakin anak bangsa mendewakan otak, akal, nalar, logika – atau kebalikannya – malah untuk sekolah pun mahal, ribet, menjemukan, akhirnya menjadi warga negara yang siap. Konon, jika orang Indonesia dengan puncak keilmuan masih percaya, bahkan percaya berita palsu utawa hoax, karena mereka memang bergelut dengan data dan informasi yang tertulis.

Jangan salahkan si pembuat/pengedar berita palsu utawa hoax. Karena susahnya mencari pekerjaan yang haram. Banyak pesaingnya. Akhirnya, semua peluang dan kesempatan dijadikan ajang mencari ‘uang bensin’. Ikatan emosional antar komunitas pe-hoax bersifat semu, tapi efek domino gerakannya nyata, masif dan menerus. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar