Beban Ganda Presiden , Kendali
Parlemen vs Kendali Kabinet
Jokowi telah menekankan otoritasnya kepada lembaga-lembaga
politik selama 2016, dengan menggabungkan kepemimpinan dan kepiawaian
politiknya, dengan data bahwa ia mengendalikan dua per tiga kursi di parlemen. Program keberhasilan tax amnesty juga mampu
membiayai program pembangunan infrastrukturnya.
Alenia pembuka sebagai cuplikan dari berita berjudul “Jokowi Jadi Pemimpin Terbaik Asia-Australia 2016’ yang ditayangkan laman REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Saturday, 31 December 2016, 15:52 WIB. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat sebagai pemimpin
terbaik atau paling unggul di antara para pemimpin Asia-Australia pada tahun
2016 versi Bloomberg. Berdasarkan data dari Bloomberg, Jokowi merupakan
satu-satunya pemimpin negara yang memiliki performa positif dalam seluruh aspek
yang dinilai, yaitu menaikkan kekuatan nilai tukar (2,41 persen), menjaga
pertumbuhan ekonomi tetap positif (5,02 persen skala tahun ke tahun), dan memiliki
tingkat penerimaan publik yang tinggi (69 persen).
Ujar rakyat yang prihatin kalau benar Jokowi mengendalikan dua per
tiga kursi di parlemen. Secara awam dapat
disimpulkan :
Pertama, semakin menjelaskan kalau presiden Joko Widodo
tidak bisa berbuat banyak tanpa dukungan perlemen. Mungkin karena Joko Widodo
bukan ketua umum parpol, sehingga eksistensinya sebagai presiden, kurang
menggigit. Posisi sebagai petugas partai pdi-p, menambah beban moral politik
untuk balas jasa, balas budi.
Kedua, mengindikasikan betapa borok dan bobroknya
sistem/praktik parlemen. Parlemen atau kawanan wakil rakyat se-Nusantara di
DPR, total kopral adalah orang partai. Melihat lain parpol dianggap sebagai lawan
politik, yang perlu dilibas sampai ampas terakhir. Pengertian ‘kursi, diartikan
satu fraksi tidak identik dengan satu suara, satu kesepakatan.
Ketiga, membuktikan wakil rakyat yang dipilih rakyat
dengan harapan memperjuangkan dan meningkatkan nasib rakyat. Sebagai legislatif
wajar kalau bersinerji dengan eksekutif dan juga yudikatif. Mereka merasa
sebagai anggota parlemen, otomatis menguasai bangsa, yang berarti secara langsung
bisa mengendalikan negara atas nama rakyat. Anggota DPR pasti mengutamakan dan
taat pada kebijakan partai.
Ketiga, parlemen atau DPR merasa pemerintah atau
eksekutif sebagai mitra dalam tatanan trias politika, pada saat praktik fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan. Bukan sebagai mitra yang saling mengontrol, menjaga keseimbangan, tetapi
malah mendominasi kerja eksekutif. Acap terjadi pada saat peemcanaan sampai pelaksanaan
APBN, posisi K/L sebagai sasaran tembak DPR. Tapi bisa juga saling ‘main mata’,
khuusnya tahap legislasi dan anggaran.
Keempat bahasan di atas, sebagai faktor penyebab apa dan
bagaimana kinerja kabinet kerja periode 2014-2019. Jangan ditafsirkan jika
sepertiga kursi di parlemen sebagai batu sandungan pemerintah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar