Halaman

Sabtu, 07 Januari 2017

Beban Ganda Presiden, Kendali Parlemen vs Kendali Kabinet



Beban Ganda Presiden , Kendali Parlemen vs Kendali Kabinet

Jokowi telah menekankan otoritasnya kepada lembaga-lembaga politik selama 2016, dengan menggabungkan kepemimpinan dan kepiawaian politiknya, dengan data bahwa ia mengendalikan dua per tiga kursi di parlemen. Program keberhasilan tax amnesty juga mampu membiayai program pembangunan infrastrukturnya.

Alenia pembuka sebagai cuplikan dari berita berjudul “Jokowi Jadi Pemimpin Terbaik Asia-Australia 2016’ yang ditayangkan laman REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Saturday, 31 December 2016, 15:52 WIB. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat sebagai pemimpin terbaik atau paling unggul di antara para pemimpin Asia-Australia pada tahun 2016 versi Bloomberg. Berdasarkan data dari Bloomberg, Jokowi merupakan satu-satunya pemimpin negara yang memiliki performa positif dalam seluruh aspek yang dinilai, yaitu menaikkan kekuatan nilai tukar (2,41 persen), menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif (5,02 persen skala tahun ke tahun), dan memiliki tingkat penerimaan publik yang tinggi (69 persen).

Ujar rakyat yang prihatin kalau benar Jokowi mengendalikan dua per tiga kursi di parlemen. Secara awam dapat disimpulkan :

Pertama, semakin menjelaskan kalau presiden Joko Widodo tidak bisa berbuat banyak tanpa dukungan perlemen. Mungkin karena Joko Widodo bukan ketua umum parpol, sehingga eksistensinya sebagai presiden, kurang menggigit. Posisi sebagai petugas partai pdi-p, menambah beban moral politik untuk balas jasa, balas budi.

Kedua, mengindikasikan betapa borok dan bobroknya sistem/praktik parlemen. Parlemen atau kawanan wakil rakyat se-Nusantara di DPR, total kopral adalah orang partai. Melihat lain parpol dianggap sebagai lawan politik, yang perlu dilibas sampai ampas terakhir. Pengertian ‘kursi, diartikan satu fraksi tidak identik dengan satu suara, satu kesepakatan.

Ketiga, membuktikan wakil rakyat yang dipilih rakyat dengan harapan memperjuangkan dan meningkatkan nasib rakyat. Sebagai legislatif wajar kalau bersinerji dengan eksekutif dan juga yudikatif. Mereka merasa sebagai anggota parlemen, otomatis menguasai bangsa, yang berarti secara langsung bisa mengendalikan negara atas nama rakyat. Anggota DPR pasti mengutamakan dan taat pada kebijakan partai.

Ketiga, parlemen atau DPR merasa pemerintah atau eksekutif sebagai mitra dalam tatanan trias politika, pada saat praktik fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Bukan sebagai mitra yang saling  mengontrol, menjaga keseimbangan, tetapi malah mendominasi kerja eksekutif. Acap terjadi pada saat peemcanaan sampai pelaksanaan APBN, posisi K/L sebagai sasaran tembak DPR. Tapi bisa juga saling ‘main mata’, khuusnya tahap legislasi dan anggaran.

Keempat bahasan di atas, sebagai faktor penyebab apa dan bagaimana kinerja kabinet kerja periode 2014-2019. Jangan ditafsirkan jika sepertiga kursi di parlemen sebagai batu sandungan pemerintah. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar