derita TKI dan martabat bangsa
Isu aktual, faktual
yang nyaris jadi santapan dan menu harian awak media massa dan tanpa solusi
yang jitu adalah tayangan nasib dan derita anak bangsa yang mengadu nasib di
negeri orang.
Adalah disebutkan resmi TKI (Tenaga
Kerja Indonesia) atau pekerja migran [migran adalah n orang (hewan) yg
berpindah tempat tinggal (untuk sementara), Kamus Bahasa Indonesia, 2008], atau
pekerja lintas batas negara. Lebih spesifik ada yang masuk kategori TKW (Tenaga
Kerja Wanita).
Setiap periode
pemerintah, seolah tak bisa lepas dari berita derita TKI dan khususnya TKI illegal.
Betapa peduli pemerintah, selain ada K/L yang menangani, selalu siap dengan
relawan jika ada kasus di luar negeri. Bahkan ada pejabat sipil maupun militer
yang siap pasang badan jika ada yang mau menggoyang kemampanan TKI di negeri
orang.
NKRI sebagai
negara yang masih pada tahap berkembang, yang masih selalu meningkatkan
kesejahteraan agar sesuai dengan negara di ASEAN. Aneka kasus dialami TKI di
negeri atau tempat kerja. Tahu banyak kasus di hilir, namun di hulu masih saja
ada kabupaten/kota yang siap memasok, mengirim, mensuplai, mengekspor calon
TKI.
Ironis binti tragis binti miris, arus calon TKI illegal
seolah tak mau berhenti. Seolah “gugur satu, tumbuh muncul seribu”. Jangan mempersoalkan
arus masuk TKA ke Indonesia, walau sama-sama mencari dan menjadi pekerja dalam
bidang pekerjaan kasar, yang lebih mengandalkan tenaga, otot dan keringat.
NKRI sebagai negara
multipartai bukannya tak ada yang peduli dengan nasib derita TKI, terlebih
kandidat TKI yang masih aman-aman di tempat tinggalnya.
Jangan salah tempatkan
penafsiran kalau masih ada TKI sebagai indicator kesejahteraan anak bangsa. Pemeritah
sekarang dengan ramuan revolusi mental, sudah selalu siap mengdongkrak mental
calon TKI agar mencari nafkah di kampung halaman sendiri. Jangan tergiur rumput
tetangga lebih ranum, hijau dan subur. Hujan emas di negeri orang, lebih baik
hujan kata di negeri sendiri. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar