Efek Domino Rombak Kabinet, Salah
Orang vs Salah Sistem
Lazim setiap awal
pembentukan kabinet, terjadi tarik ulur kepentingan, atau dampak dari politik
transaksional. Langkah awal presiden pasca penyumpahan adalah mencari dan
melantik barisan pembantunya.
Parpol pengusung
pasangan Joko Widodo-JK merasa paling berhak mendapatkan jabatan menteri yang
strategis. Tak kalah merasa berhak adalah relawan sampai penggembira. Presiden selain
sibuk dengan menetapkan nomenklatur K/L yang baru, agar bisa mewujudkan andalan
program Trisakti dan Nawacita, juga sekaligus siap mengakomodir kandidat usulan
parpol maupun menteri karir.
Pasca pelantikan dan
penyumpahan anggota kabinet, muncul problem lanjutan. Uji kepatutan dan
kelayakan bagi calon jabatan pimpinan tinggi sesuai UU ASN untuk mengisi
jabatan baru. Lelang jabatan ini dilakukan secara terbuka, dalam arti tidak
hanya untuk internal K/L yang lama.
Jangan lupa, andalan
sebagai dasar pembentukan karakter penyelenggara negara selama periode
2014-2019, mendapat gemblengan, tempaan, gojlokan revolusi mental.
Pembantu presiden dari
unsur partai, posisinya labil jika tidak masuk bilangan “orang sendiri” dari
ketua umumnya. Kalau cuma loyalis, patuh,
setia, tunduk, taat saja belum jaminan bebas goyangan angin politik. Yang bikin
runyam ancaman perombakan kabinet, justru karena wakil presiden selalu ada
maunya. Sebagai pribadi, wapres juga punya jago yang siap diorbitkan. Pengalaman
JK sebagai wapres di periode 2004-2009 menyebabkan ybs tahu apa yang akan
dikerjakan dan yakin bisa mengerjakannya.
Dari pihak presiden
sendiri, menghadapi tengah periodenya, sudah semakin gamblang arah angin politik
dan langkah catur politiknya menghadapi pesta demokrasi 2019. K/L yang dianggap
Jokowi bisa menambah nilai jual, mendongkrak popularitas, memoles citra diri
dan pamor, akan dipacu dan dipicu lebih berkinerja lagi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar