bar nistha
njur maékani
Pemerintah tak ada kehilangan
akalnya sedetikpun. Khususnya saat menghadapi gerakan anti-kemapanan. Pokoknya,
jangan sampai stabilitas nasional ada yang main goyang. Khususnya jangan sampai kursi kekuasaan ada
yang coba-coba main dongkel. Kendati digulingkan secara konstitusional.
Pemerintah memanfaatkan
momentum pasca penistaan agama oleh penyelenggara negara, tepatnya oknum
gubernur ibukota NKRI, sebagai pintu masuk utama untuk mewaspadai rakyatnya. Ironisnya,
kepala negara acap turun tangan, sumbang suara untuk menilai situasi yang
dianggapnya inkonstitusional. Apa guna ada wakil rakyat, tersedia wakil daerah,
kilahnya. Apa artinya tongkrongan pembantu presiden yang ahli hantam kromo model bung Karno. Atau kalau
tidak bisa dirangkul, harus didengkul pola kebijakan pak Harto.
Pemerintah lebih gemar
main dupak sebelum rakyat ngranyak. Padahal langkah catur
politiknya atas komunikasi, koordinasi, kendali pihak yang aneh-aneh. Semua
kejadian akibat efek domino politik balas jasa, balas budi sekaligus politik
balas dendam. Saling libas dalam koalisi untuk mempertahankan kursi. Ironis binti
miris, sudah memantapkan langkah ke pesta demokrasi 2019.
Pemerintah pasca tengah
periode, bukan terjun bebas. Bukan negara autopilot,
tetapi surplus pilot. Banyak ahli
membuat sas-sus. Penistaan agama menjadi menu politik. Rakyat digoyang. Jika rakyat
bereaksi berlebih, di luar jalur konstitusional maka revolusi mental akan
membabat habis lawan politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar