Halaman

Jumat, 27 Januari 2017

bar nistha njur maékani



bar nistha njur maékani
Pemerintah tak ada kehilangan akalnya sedetikpun. Khususnya saat menghadapi gerakan anti-kemapanan. Pokoknya, jangan sampai stabilitas nasional ada yang main goyang.  Khususnya jangan sampai kursi kekuasaan ada yang coba-coba main dongkel. Kendati digulingkan secara konstitusional.

Pemerintah memanfaatkan momentum pasca penistaan agama oleh penyelenggara negara, tepatnya oknum gubernur ibukota NKRI, sebagai pintu masuk utama untuk mewaspadai rakyatnya. Ironisnya, kepala negara acap turun tangan, sumbang suara untuk menilai situasi yang dianggapnya inkonstitusional. Apa guna ada wakil rakyat, tersedia wakil daerah, kilahnya. Apa artinya tongkrongan pembantu presiden yang ahli hantam kromo model bung Karno. Atau kalau tidak bisa dirangkul, harus didengkul pola kebijakan pak Harto.

Pemerintah lebih gemar main dupak sebelum rakyat ngranyak. Padahal langkah catur politiknya atas komunikasi, koordinasi, kendali pihak yang aneh-aneh. Semua kejadian akibat efek domino politik balas jasa, balas budi sekaligus politik balas dendam. Saling libas dalam koalisi untuk mempertahankan kursi. Ironis binti miris, sudah memantapkan langkah ke pesta demokrasi 2019.

Pemerintah pasca tengah periode, bukan terjun bebas. Bukan negara autopilot, tetapi surplus pilot.  Banyak ahli membuat sas-sus. Penistaan agama menjadi menu politik. Rakyat digoyang. Jika rakyat bereaksi berlebih, di luar jalur konstitusional maka revolusi mental akan membabat habis lawan politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar