semiskin-miskin diri, janganlah miskin jiwa
Betul, jika telinga kita
akrab, familiar dengan dua kata seolah berpasangan yang ada di diri kita, yaitu
jiwa raga, lahir batin, jasmani rokhani, luar dalam. Padahal berlawanan, walau
saling menguatkan suatu makna.
Fokus dan khusus pada
jiwa raga, sejauh ini banyak kajian akademis bahkan sampai obrolan ringan mengupasnya.
Ilmu agama Islam tak kunjung padam melihat kondisi jiwa raga dari berbagai
aspek. Daya jiwa akan lebih nyata jika berkorelasi, berkolaborasi dengan daya
raga. Secara harfiah, jiwa merupakan bagian dari daya hidup.
Penghargaan Allah terhadap manusia yang sempurna imannya, dengan sapaan
seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Al Fajr (89) : 27] :
“Hai jiwa
yang tenang.”
Katakan,
dengan ‘jiwa yang tenang‘–
tidak diperdebatkan apakah sebagai syarat, dasar kehidupan atau sebagai tujuan
hidup – atau malah sebagai pintu
masuk untuk memaknai kehidupan yang sekedar ibarat perumpamaan mampir
minum.
Peran dan posisi sentral jiwa manusia, dijelaskan dalam Al-Qur’an secara rinci, diperkuat
dengan dalil di hadist atau Sunah Rasul. Antara lain lewat surat Asy Syams
(matahari) terdiri atas 15 ayat, berisi dorongan kepada manusia untuk
membersihkan jiwanya agar mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat dan
menyatakan bahwa Allah akan menimpakan azab kepada orang-orang yang mengotori
jiwanya seperti halnya kaum Tsamud. Jiwa, bukan hanya milik pribadi, milik
individu, ternyata juga menjadi jiwa suatu kaum. Ikatan emosional atau jiwa
dalam suatu komunitas atau akumulasi jiwa para anggotanya.
Jiwa, roh dan akal merupakan potensi internal yang membentuk
jati diri manusia, yang menentukan kadar akhlak sesorang. Ketiganya merupakan
faktor bawaan anak Adam yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup lainnya,
walau sama-sama ciptaan Allah.
Ketiga kesatuan potensi
internal manusia memiliki kebutuhan dan asupan gizi masing-masing. Jiwa perlu
nutrisi berupa keinginan (syahwat). Sementara roh butuh nutrisi berupa
keyakinan (iman). Akal perlu nutrisi berupa ilmu pengetahuan (informasi).
Sinerji jiwa dan roh adalah
potensi yang tidak boleh saling mendominasi, karena keduanya bisa saling
melemahkan. Saat jiwa (an-nafs) mendominasi, kerja tubuh cuma memenuhi
panggilan syahwat saja, sehingga roh mengering. Ketika roh (ar-ruh)
terlalu dominan, orang yang bersangkutan maunya mengisi waktunya dengan serba ibadah. Akibatnya, jiwa menjadi
korban karena hasratnya tidak kunjung terpenuhi, walau untuk urusan yang
mubah/halal sekalipun.
Ada baiknya kita membedah
‘jiwa’ dari berbagai aspek keilmuan, sejarah bangsa atau pandangan hidup.
Pertama, setiap upacara
bendera, pembukaan acara resmi atau kondisi lain, dinyanyikan lagu kebangsaam
Indonesia Raya. Pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, telah didengungkan “bangunlah jiwanya bangunlah badannya”. Sekelumit lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyuratkan dan menyiratkan bahwa
jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, jauh sebelum negara kesatuan
dibentuk, jiwa bangsa dan rakyat harus dibangun terlebih dahulu.
Kedua, masih ingat samar-samar di otak kita kalau
ungkapan latin "mens sana in
corpore sano" diterjemahkan nyaris menjadi pegangan hidup, yaitu
“di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat".
Ilmu olahraga meyakini kalau untuk mendapatkan tubuh yang
kuat, raga yang kokoh, fisik yang
kukuh – tidak serba L : layu; limbung;
lunglai; lemah, lemas, lesu, letih, letoy, loyo – manusia mau tak mau harus berolahraga. Jika kondisi minimalnya
tercapai, diharapkan dengan badan, raga,
fisik kuat maka jiwa tumbuh sehat. Jiwa
sehat berdampak pada kehidupan manusia. Pikiran, ucapan, dan maupun tindakan
manusia, merupakan cerminan dari kadar kesehatan jiwanya.
Keempat. Tetapi menurut Robert Frager, seorang psikolog
dan juga sufi, jiwa itu ada tujuh macam, dan satu diantaranya ialah jiwa
pribadi, yang terletak di otak. Jadi, jiwa itu tidak sepenuhnya berada di dada
atau jantung manusia, sebagai mana yang di pahami oleh orang awam selama ini.
Ketujuh jiwa itu adalah jiwa mineral, nabati, hewani,
pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia.
i.
Jiwa mineral
terletak pada sistem kerangka manusia yang berfungsi untuk menopang tubuhnya
supaya bisa tegak.
ii.
Jiwa nabati (roh
nabati) terletak dalam jantung dan terkait dengan sistem pencernaan. Ia
mengatur pertumbuhan dan asimilasi bahan-bahan makanan.
iii.
Jiwa hewani (roh
hayawani) terletak dalam hatidan berhubungan dengan sistem peredaran darah.
iv.
Jiwa pribadi (roh
nafsani) terletak pada otak dan terkait dengan sistem saraf.
v.
Jiwa insani
terdapat dalam qalbu, yaitu hati spiritual
vi.
Jiwa maharahasia
adalah bagian dari diri kita yang mengingat tuhan. Jiwa rahasia atau kesadaran
batiniah terletak dalam hati batiniah. Jiwa inilah yang mengetahui ‘dari mana
ia datang dan kemana ia pergi’.
Kelima.
Ternyata tidak hanya seorang Robert Frager yang merisaukan ‘dari mana ia datang dan kemana ia pergi’. Karena filosofi Jawa yang berujar "sangkan paraning dumadi". Apa maknanya?
Orang yang mengetahuinya pun tak ambil pusing. Merupakan bagian dari babakan
kehidupan di dunia. Diartikan secara sederhana, yaitu kita akan “mengetahui” kemana
tujuan kita setelah hidup di dunia berakhir.
Makna mudik yang sudah dilakukan 10 hari terakhir bulan
Ramadhan, tersirat makna ‘dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup
kita ini nantinya’.
Keenam. Pemerintah begitu peduli, tanggap, peka
sekaligus memperhatikan kesehatan jiwa bangsa dan rakyat. Kesehatan Jiwa adalah
kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya (UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa).
Seperti apa kaya jiwa
itu kawan? Apa sebgai lawan kata miskin jiwa. Saya coba pendekatan dengan
menjawab jiwa maharahasia sekaligus "sangkan
paraning dumadi". Jika kita mengenal
kalimat istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah), berbunyi "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun",
mempunyai arti “Sesungguhnya kita milik
Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali”. Lihat Al-Qur’an [QS Al Baqarah (2) : 27]. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar