Halaman

Rabu, 25 Januari 2017

umur ideologis anak bangsa berbanding lurus pikun ideologi



umur ideologis anak bangsa berbanding lurus pikun ideologi

Saya pernah berolah kata dengan tajuk “potret manusia Indonesia tunaideologi”. Berikut salah satu alenia yang saya tayangkan. Betapa tidak, manusia Indonesia yang kaya ideologi, ternyata potret para cecunguk politik/pecundang politik (mulai dari bandar politik, presiden senior, supermenteri, mantan presiden, bekas wakil presiden, pewaris politik dalam negeri sampai politisi abal-abal) yang sibuk berjibaku di panggung, pentas, industri, syahwat politik, malah menampakkan sosok yang kurus kering karena tunaideologi. Ternyata asupan, pasokan ideologinya miskin gizi dan nutrisi.

Di tayangan lain, “kadar imajinasi politik penentu pikun politik” sebagai judul yang mengacu pada predikat pikun politik. Apa itu “pikun politik” sengaja tidak saya otak-atik, takut kuwalat. Takut menimbulkan fitnah. Alenia terakhir, walau bukan sebagai kesimpulan. Banyak contoh lainnya, bahkan pihak PTN melakukan modus yang sama. Artinya, secara sadar terjadi bahwa yang masuk kategori pikun politik, justru layak didaulat sebagai negarawan. Selangkah lagi Indonesia akan ada anak bangsa meraih nobel dunia, bidang politik dalam negeri. Karena mampu memadukan dua jenis gender politik. Aroma irama politik citra rasa, penuh pengharu-rasa dengan gaya politik penghiba-hiba merasa banyak jasa. Kita tunggu.

Berikutnya, judul “apakah potensi akademis berbanding lurus daya korupsi” saya bla-bla cukup membosankan bagi pihak terkait. Dua alenia terakhir sebagai fakta simpul, berujar :

Kendati hanya atau baru 32% koruptor yang ditangkap KPK berasal dari partai politik, kita jangan melupakan fakta bahwa penyelenggara didominiasi oleh orang partai. Pesta demokrasi yang memilih secara langsung wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah bahkan kepala negara, negara secara tak langsung memberikan lapangan kerja selama lima tahun ke depan buat orang partai.

Kita tidak tahu batasan persentase ideal orang parpol korupsi. Apakah jika persentasenya rendah, artinya Indonesia bebas korupsi. Jangan dilihat pada jumlah pelaku dari unsur atau orang partai, tetapi kerugian negara serta dampak yang ditimbulkan. Itu saja. Agar olah kata ini tidak menjadi fitnah atau sebagai ujaran kebencian.

Jangan heran kawan, ada judul ecek-ecek “efek domino revolusi mental, pensiun dini vs pikun dini”. Memang karena sesuai substansi yang saya gubah. Sama, dua alenia terakhir bertuliskan :

Bukan persentase, tetapi perwakilan dari komponen pendukung tulen Jokowi-JK yang tak tahan godaan di tengah jalan, bahkan di tahun pertama periode 2014-2019. Entah akibat kuwalat politik, tulah atau kutuk mereka yang dilangkahi hidup-hidup. Tak kuat menanggung beban kehidupan politik. Tepatnya, tak kuat harus bermain watak, memanipulasi watak atau bersandiwara poltik. Tentu, tak kurang yang memang dari sono-nya sudah terbiasa jadi pecundang sehingga waktu tampil di panggung, industri, syahwat politik malah semakin tersalurkan. Menemukan jalur yang tepat untuk mengekspresikan kemampuan diri.

Tuntutan dan tantangan memanipulasi watak diri, memulas jati diri, mendongkrak cira diri berdampak mempercepat proses penuaan diri sejak dini.

Hari ini, rabu 25 Januari 2017, di blogspot pribadi saya tayangkan dengan tema “Memanfaatkan Sisa Waktu dan Cadangan Usia”. Alenia pertama sebagai pembuka meriwayatkan :

Ketika kita sebagai manusia memasuki tahap akil balik, tentunya dengan ciri sudah berakal dan cukup umur, dewasa.  Batasan usia akli balik, katakan secara umum berusia 15 tahun ke atas. Ditengarai sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akil balik terkait aspek biologis. Batasan dewasa dikaitkan dengan aspek yuridis atau berdasarkan hukum buatan manusia.

Sebelumnya, saya tayangan olah kata yang nyaris mirip taklimat, yaitu “pasca era mégatéga, pulihkan mental generasi pewaris masa depan”. Esensi olah kata terlacak pada 3 (tiga) alenia terakhir :

Bayangkan, 24 jam dalam sehari semalam, tayangan media kaca, diperkuat ujaran penistaan tayang bebas di media massa dengan variannya, mau tak mau anak dalam kandungan sudah terkontaminasi secara sistetamtis.

Bangsa Indonesia semakin kehilangan panutan formal. Yang tampil, antara penyelenggara negara yang terhormat, bermartabat dengan penjahat klas kampung tidak ada bedanya. Sama-sama umbar kebencian dan kebodohan yang mendalam. Kalau pak RT bisa jadi tokoh dalam sinetron, film animasi atau bentuk tayangan lain,  dengan keluguan, kekonyolan, maka jangan heran di Indonesia ini, yang mantan pun bisa bertingkah aneh-aneh. Apalagi kalau merasa kursinya direbut lawan politik.

Ternyata, gerakan 5M masih belum berakhir . . . 

Jadi, jika secara ideologis kekuasaan bisa diwariskan, ada  istilah dinasti politik atau politik dinasti, tentu ada ekses, efek, dampak internal. Gesekan dan konflik kejiwaan menjadi menu utama, menu harian.

Jangan heran, daya pikir, olah ucap, gaya laku seseorang yang terkontaminasi. Tepatnya sebagai alenia terakhir saya pakai :

Kebijakan partai penguasa, efek pesta demokrasi dan negara multipartai, menjadikan hak individu rakyat terabaikan, tersia-siakan. Menutup peluang bahkan alergi, antipati terhadap daya aspirasi rakyat yang kritis dan rasional. Faham koléktivisme yang menjiwai  internal sebuah partai politik semakin menjadi-jadi. Semua ini dikarenkan platform partai adalah menerjemahkan hak konstitusional secara buta.

Alenia ini saya kutip dari reka kata “Membangun Peradaban Lewat Nafas Harian Rakyat”. Demikian bunyi tulisan saya dan sekian, terima kasih. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar