umur ideologis anak bangsa berbanding lurus pikun ideologi
Saya pernah berolah kata dengan tajuk “potret manusia Indonesia
tunaideologi”. Berikut salah
satu alenia yang saya tayangkan. Betapa tidak, manusia Indonesia yang kaya
ideologi, ternyata potret para cecunguk politik/pecundang politik (mulai dari bandar
politik, presiden senior, supermenteri, mantan presiden, bekas wakil presiden,
pewaris politik dalam negeri sampai politisi abal-abal) yang sibuk berjibaku di
panggung, pentas, industri, syahwat politik, malah menampakkan sosok yang kurus
kering karena tunaideologi. Ternyata asupan, pasokan ideologinya miskin gizi
dan nutrisi.
Di tayangan
lain, “kadar imajinasi politik penentu pikun politik” sebagai
judul yang mengacu pada predikat pikun politik. Apa itu
“pikun politik” sengaja tidak saya otak-atik, takut kuwalat. Takut menimbulkan
fitnah. Alenia terakhir, walau bukan sebagai kesimpulan. Banyak contoh lainnya, bahkan pihak PTN melakukan modus yang sama. Artinya,
secara sadar terjadi bahwa yang masuk kategori pikun politik, justru layak
didaulat sebagai negarawan. Selangkah lagi Indonesia akan ada anak bangsa
meraih nobel dunia, bidang politik dalam negeri. Karena mampu memadukan dua
jenis gender politik. Aroma irama politik citra rasa, penuh pengharu-rasa
dengan gaya politik penghiba-hiba merasa banyak jasa. Kita tunggu.
Berikutnya, judul “apakah potensi akademis
berbanding lurus daya korupsi” saya bla-bla cukup membosankan bagi pihak terkait. Dua alenia terakhir
sebagai fakta simpul, berujar :
Kendati hanya atau baru 32% koruptor yang ditangkap KPK
berasal dari partai politik, kita jangan melupakan fakta bahwa penyelenggara
didominiasi oleh orang partai. Pesta demokrasi yang memilih secara langsung
wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah bahkan kepala negara, negara secara
tak langsung memberikan lapangan kerja selama lima tahun ke depan buat orang
partai.
Kita tidak tahu
batasan persentase ideal orang parpol korupsi. Apakah jika persentasenya
rendah, artinya Indonesia bebas korupsi. Jangan dilihat pada jumlah pelaku dari
unsur atau orang partai, tetapi kerugian negara serta dampak yang ditimbulkan.
Itu saja. Agar olah kata ini tidak menjadi fitnah atau sebagai ujaran
kebencian.
Jangan heran
kawan, ada judul ecek-ecek “efek domino
revolusi mental, pensiun dini vs pikun dini”. Memang karena
sesuai substansi yang saya gubah. Sama, dua alenia terakhir bertuliskan :
Bukan persentase, tetapi perwakilan dari
komponen pendukung tulen Jokowi-JK yang tak tahan godaan di tengah jalan,
bahkan di tahun pertama periode 2014-2019. Entah akibat kuwalat politik, tulah
atau kutuk mereka yang dilangkahi hidup-hidup. Tak kuat menanggung beban
kehidupan politik. Tepatnya, tak kuat harus bermain watak, memanipulasi watak
atau bersandiwara poltik. Tentu, tak kurang yang memang dari sono-nya sudah terbiasa jadi pecundang
sehingga waktu tampil di panggung, industri, syahwat politik malah semakin
tersalurkan. Menemukan jalur yang tepat untuk mengekspresikan kemampuan diri.
Tuntutan dan tantangan memanipulasi
watak diri, memulas jati diri, mendongkrak cira diri berdampak mempercepat
proses penuaan diri sejak dini.
Hari ini, rabu 25 Januari 2017, di blogspot pribadi saya tayangkan dengan tema “Memanfaatkan Sisa Waktu dan Cadangan Usia”. Alenia pertama
sebagai pembuka meriwayatkan :
Ketika kita sebagai manusia memasuki tahap akil balik, tentunya dengan ciri
sudah berakal dan cukup umur, dewasa.
Batasan usia akli balik, katakan secara umum berusia 15 tahun ke atas.
Ditengarai sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akil
balik terkait aspek biologis. Batasan dewasa dikaitkan dengan aspek yuridis
atau berdasarkan hukum buatan manusia.
Sebelumnya, saya tayangan olah kata yang nyaris mirip
taklimat, yaitu “pasca era mégatéga, pulihkan mental generasi
pewaris masa depan”. Esensi olah kata terlacak pada 3 (tiga) alenia terakhir :
Bayangkan, 24 jam dalam sehari semalam, tayangan media
kaca, diperkuat ujaran penistaan tayang bebas di media massa dengan variannya,
mau tak mau anak dalam kandungan sudah terkontaminasi secara sistetamtis.
Bangsa Indonesia semakin kehilangan panutan formal. Yang
tampil, antara penyelenggara negara yang terhormat, bermartabat dengan penjahat
klas kampung tidak ada bedanya. Sama-sama umbar kebencian dan kebodohan yang
mendalam. Kalau pak RT bisa jadi tokoh dalam sinetron, film animasi atau bentuk
tayangan lain, dengan keluguan,
kekonyolan, maka jangan heran di Indonesia ini, yang mantan pun bisa bertingkah
aneh-aneh. Apalagi kalau merasa kursinya direbut lawan politik.
Ternyata, gerakan 5M masih belum
berakhir . . .
Jadi, jika secara ideologis kekuasaan bisa diwariskan,
ada istilah dinasti politik atau politik
dinasti, tentu ada ekses, efek, dampak internal. Gesekan dan konflik kejiwaan
menjadi menu utama, menu harian.
Jangan heran, daya pikir, olah ucap, gaya laku seseorang
yang terkontaminasi. Tepatnya sebagai alenia terakhir saya pakai :
Kebijakan partai penguasa, efek pesta demokrasi dan
negara multipartai, menjadikan hak individu rakyat terabaikan, tersia-siakan. Menutup peluang bahkan
alergi, antipati terhadap daya aspirasi rakyat yang kritis dan rasional. Faham koléktivisme yang menjiwai internal sebuah partai politik semakin
menjadi-jadi. Semua ini dikarenkan platform
partai adalah menerjemahkan hak konstitusional secara buta.
Alenia ini saya kutip dari
reka kata “Membangun Peradaban Lewat Nafas Harian Rakyat”. Demikian bunyi tulisan saya dan
sekian, terima kasih. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar