komposisi ideal pimpinan DPR vs entèk ngamèk kurang golèk
Syahwat politik,
serakah politik, dan setan politik (3S politik) lebur menjadi satu, sebagai
gerakan senyap kawanan orang partai. Disebutkan, langkah DPR merevisi
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan
agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR menuai kritik. Rahasia umum, ulah
ini idenya siapa. Tidak perlu diperdebatkan. Apalagi kalau sudah tahu siapa
biang keroknya, biang keladinya.
Kawan tidak lupa denga
kasus oknum ketua DPR 2014-2019, papa minta saham. Kendati mengorbankan jabatan
ketua, berkat asupan 3S politik, kembali jadi ketua. Khazanah makar
konstitusional bertambah kaya makna, tafsir dan contoh faktual, aktual, tanpa
rekayasa.
Menyoal UU 42/2014
yang sohor disebut UU MD3 mencantumkan frasa “dalam satu paket yang bersifat tetap” untuk menjelaskan hukum pemilihan pimpinan MPR maupun pimpinan DPR serta
hal yang berbasis pemilihan pimpinan. Frasa tsb tidak dijelaskan di penjelasan
UU MD3. Sudah baku atau bersifat dinamis, sesuai kebutuhan. Demikian praktiknya.
Seolah jabatan ketua DPR yang dijabat oleh petugas PG, menjadi hak milik PG.
Begini saja kawan,
mengacu bantuan biaya dari APBN untuk parpol berdasarkan perolehan suara pada
pileg. Maksudnya, banyaknya wakil ketua MPR atau DPR minimal sebanyak jumlah
parpol yang anggotanya jadi anggota MPR maupun DPR. Agar lebih adil, merata
maka jumlah wakil berdasarkan rasio perbandingan perolehan suara antar parpol.
Tentunya, juara umum pileg
otomatis yuridis jadi ketua MPR dan ketua DPR. Tergantung niat, itikad mulia
pelaksaan fungsi legislasi atau revisinya. Demi politik, semua bisa diatur. Sama
rasa sama rata. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar