Halaman

Senin, 02 Januari 2017

komposisi ideal pimpinan DPR vs entèk ngamèk kurang golèk



komposisi ideal pimpinan DPR vs entèk ngamèk kurang golèk

Syahwat politik, serakah politik, dan setan politik (3S politik) lebur menjadi satu, sebagai gerakan senyap kawanan orang partai. Disebutkan, langkah DPR merevisi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR menuai kritik. Rahasia umum, ulah ini idenya siapa. Tidak perlu diperdebatkan. Apalagi kalau sudah tahu siapa biang keroknya, biang keladinya.

Kawan tidak lupa denga kasus oknum ketua DPR 2014-2019, papa minta saham. Kendati mengorbankan jabatan ketua, berkat asupan 3S politik, kembali jadi ketua. Khazanah makar konstitusional bertambah kaya makna, tafsir dan contoh faktual, aktual, tanpa rekayasa.

Menyoal UU 42/2014 yang sohor disebut UU MD3 mencantumkan frasa “dalam satu paket yang bersifat tetap” untuk menjelaskan hukum pemilihan pimpinan MPR maupun pimpinan DPR serta hal yang berbasis pemilihan pimpinan. Frasa tsb tidak dijelaskan di penjelasan UU MD3. Sudah baku atau bersifat dinamis, sesuai kebutuhan. Demikian praktiknya. Seolah jabatan ketua DPR yang dijabat oleh petugas PG, menjadi hak milik PG.

Begini saja kawan, mengacu bantuan biaya dari APBN untuk parpol berdasarkan perolehan suara pada pileg. Maksudnya, banyaknya wakil ketua MPR atau DPR minimal sebanyak jumlah parpol yang anggotanya jadi anggota MPR maupun DPR. Agar lebih adil, merata maka jumlah wakil berdasarkan rasio perbandingan perolehan suara antar parpol.

Tentunya, juara umum pileg otomatis yuridis jadi ketua MPR dan ketua DPR. Tergantung niat, itikad mulia pelaksaan fungsi legislasi atau revisinya. Demi politik, semua bisa diatur. Sama rasa sama rata. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar