mengenal
lebih benderang tabiat zalim diri sendiri
Manusia sesuai fitrahnya mempunyai watak sesuai jalur nabi Adam a.s dan ibu
Hawa sebagai manusia langit. Karena dilahirkan di muka bumi, manusia sesuai
perjalanan waktu, pergerakkan usia/umurnya mengalami proses yang menerus,
kontinyu. Adaptasi dengan lingkungan berdampak pada pembentukan jiwa raga.
Dakwaan pertama penyebab tabiat watak, karakter dan sejenisnya ditujukan
kepada/oleh faktor keturunan. Adalah faktor bawaan sejak lahir, efek pertemuan
dan pertempuran dua golongan darah ayah ibunya, sudah dari sono-nya, yang turun temurun.
Terdakwa kedua adalah faktor ajar dan faktor panutan dalam keluarga, rumah
tangga. Karena orang tualah anak bisa menjadi pemeluk agama atau sebaliknya. Tepat
kalau didaulat rumah sebagai madrasah, sekolah pertama dan utama bagi anak. Ibu
berperan sebagai guru yang berdaya guna dan berhasil guna.
Terdakwa ketiga adalah faktor lingkungan. Tetangga sekitar rumah memang
bisa mempengaruhi pembentukan jati diri anak. Interaksi sosial anak dengan anak
tetangga sebagai dunia luar keluarga yang pertama kali dikenal anak.
Terdakwa keempat dalam pembentukan dan penemuan hakikat hidup serta langkah
besar merintis masa depan adalah dunia pendidikan. Disinilah yang namanya gaul,
gaya hidup, gengsi sudah mulai bicara. Otak diolah pararel dengan pembinaan
berbagai daya dan penggalian potensi diri.
Jadi, manusia seutuhnya dengan berbagai atributnya, bisa bebas keluar masuk
zona negatif/minus, bergeser pilihan ke
zona abu-abu, atau menetap di zona positif/plus. Pasang surut, nilai fluktuatif
tabiat zalim memang sangat kondisional. Itulah garis kehidupan.
Ikhwal zalim dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Al Ahzab (33) : 72] : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”
Bukan berarti manusia mengandung tabiat zalim sekaligus tabiat bodoh.
Sebelum melangkah jauh, dalam penulisan ini, saya ajak pembaca menyimak
betapa malaikat sudah mensinyalir perilaku manusia. Kita buka dialog Allah
dengan malaikat, tersurat di Al-Qur’an [QS Al Baqarah (2) : 30] : “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"."
Pengindraan malaikat atas ikwal orang yang akan membuat kerusakan di muka
bumi, tidak meleset. Nyaris akurat. Penyebab zalim atau tindakan berbuat
kerusakan di muka bumi disebabkan oleh dua faktor yang bertolak belakang. Faktor
ketidaktahuan, kemiskinan, serba keterbelakangan menjadikan manusia atau orang
memanfaatkan bumi tanpa ilmu. Sedangkan kebalikannya, karena merasa kuasa,
kuat, kaya maka tak ayal lapisan demi lapisan bumi dimanfaatkan seoptimal
mungkin. Kekayaan alam dikeruk, dikeduk secara total. Semuanya demi keuntungan
yang bisa dilipat.
Apa itu zalim?
Kamus Bahasa indonesia, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008,
pada lema :
zalim lalim
lalim zalim
Kamus Tesaurus, Pusat Bahasa, Depdiknas 2008, pada lema :
zalim a aniaya, bengis, buas, kejam, lalim, sewenang-wenang;
ant baik
Kezaliman
yang ada di diri sendiri, tidak berhenti begitu saja. Allah menegaskan, tersurat di Al-Qur’an
[QS Yunus (10) : 44] : “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia
sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka
sendiri.” Kalau sudah begini,
apa yang bisa kita bantah.
Ternyata, zalim bukan sekedar tabiat. Bahkan ada manusia
zalim.
Kita sebagai manusia atau orang? Tega berbuat zalim
kepada diri sendiri. Bagaimana cara, tips, kiat atau rumus, resep, ramuan yang
dipakai. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar