Halaman

Kamis, 12 Januari 2017

rékonsiliasi abal-abal vs nasakom kemasan baru



rékonsiliasi abal-abal vs nasakom kemasan baru

Dimensi politik Nusantara semakin kehilangan jati diri dan citra diri. Mau dibawa kemana Inddonesia ini. Membanggakan jasa nenek moyangnya sepertinya sebagai wujud atau sarana untuk memulihkan bentuk politik ke masa lalu. Kemesraan antar parpol ingin dibangun kembali, khususnya Nasakom di zaman Orde Lama.

Bangga dengan istilah keren, yang harus kita pahami berkat kamus resmi bahasa Indonesia. Mau komplit atau yang terang-benderang boleh pakai kamus politik. Dimulai ada istilah rékonsiliasi/ n perbuatan memulihkan persahabatan atau keserasian hubungan, sesuai KBBI.

Namanya ideologi, tentu tak akan atau ada matinya. Secara formal PKI dilarang beredar di NKRI (lihat Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indoesia … dst). Terlebih jika sudah banyak rakyat yang merasa nikmat dibawah naungan kebijakan PKI yang seolah pro-rakyat papan bawah.

Merasa kekebasan yang serba bebas ala PKI, yang sudah mendarah daging, tentu akan dilestarikan oleh secara ala dinasti politik. Meleburnya paham komunis ke sistem yang terbangun oleh pemerintah. UU 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, malah secara formal mewadahi aliran, arus, arah perjuangan eks PKI.

Di era reformasi, bentuk rékonsiliasi bak pedang keadilan. Mau membabat siapa, tergantung si pemegang. Periode 1999-2004 mengawali rekonsiliasi nasional yaitu dengan membentuk undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tugas utama komisi itu, mengusut kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Rekonsiliasi nasional diwujudkan dalam rangka pembangunan nasional, integritas teritorial dan kesatuan bangsa. Untuk mencapainya terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi. (situs tempo, Kamis, 22 Maret 2001 | 15:12 WIB)

Berlajut di periode berikutnya, tepatnya di 2009-2014, rekonsiliasi terhadap persoalan masa lalu, semua tokoh yang telah meninggal dunia dan telah membuktikan jasa-jasa serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara layak untuk mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. (situs kompas, Rabu, 13 Januari 2010 | 02:52 WIB)

Jadi, ujar ki dalang Sobopawon, atas nama kebebasan berpolitik, ada pihak yang ingin menghidupkan geopolitik nasional yan terjadi dari, terdiri atas semua ideologi yang ada di dunia. Mengacu politik dunia, bahwasanya pemenang pemilu legislatif maka otomatis akan menguasai parlemen. Minimal sebagai ketua.

Di sisi internal umat Islam, terlihat tanda-tanda bahwa tangan Allah sudah berdenyut. Akan ada seleksi dengan basis bahasa langit, mana umat Islam sesuai perintah-Nya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar