rékonsiliasi abal-abal vs
nasakom kemasan baru
Dimensi politik
Nusantara semakin kehilangan jati diri dan citra diri. Mau dibawa kemana
Inddonesia ini. Membanggakan jasa nenek moyangnya sepertinya sebagai wujud atau
sarana untuk memulihkan bentuk politik ke masa lalu. Kemesraan antar parpol
ingin dibangun kembali, khususnya Nasakom di zaman Orde Lama.
Bangga dengan
istilah keren, yang harus kita pahami berkat kamus resmi bahasa Indonesia. Mau
komplit atau yang terang-benderang boleh pakai kamus politik. Dimulai ada
istilah rékonsiliasi/ n perbuatan memulihkan persahabatan atau
keserasian hubungan, sesuai KBBI.
Namanya ideologi,
tentu tak akan atau ada matinya. Secara formal PKI dilarang beredar di NKRI
(lihat Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indoesia … dst). Terlebih
jika sudah banyak rakyat yang merasa nikmat dibawah naungan kebijakan PKI yang
seolah pro-rakyat papan bawah.
Merasa kekebasan
yang serba bebas ala PKI, yang sudah mendarah daging, tentu akan dilestarikan
oleh secara ala dinasti politik. Meleburnya paham komunis ke sistem yang
terbangun oleh pemerintah. UU 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,
malah secara formal mewadahi aliran, arus, arah perjuangan eks PKI.
Di era reformasi,
bentuk rékonsiliasi bak pedang keadilan. Mau membabat siapa, tergantung si
pemegang. Periode 1999-2004 mengawali rekonsiliasi nasional yaitu dengan membentuk
undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tugas utama komisi itu,
mengusut kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Rekonsiliasi nasional diwujudkan
dalam rangka pembangunan nasional, integritas teritorial dan kesatuan bangsa. Untuk
mencapainya terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi. (situs tempo, Kamis, 22 Maret 2001 | 15:12 WIB)
Berlajut di periode
berikutnya, tepatnya di 2009-2014, rekonsiliasi terhadap persoalan masa
lalu, semua tokoh yang telah meninggal dunia dan telah membuktikan jasa-jasa
serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara layak untuk mendapatkan gelar
sebagai pahlawan nasional. (situs kompas, Rabu,
13 Januari 2010 | 02:52 WIB)
Jadi, ujar ki dalang Sobopawon, atas nama kebebasan
berpolitik, ada pihak yang ingin menghidupkan geopolitik nasional yan terjadi
dari, terdiri atas semua ideologi yang ada di dunia. Mengacu politik dunia,
bahwasanya pemenang pemilu legislatif maka otomatis akan menguasai parlemen. Minimal
sebagai ketua.
Di sisi internal umat Islam, terlihat tanda-tanda bahwa
tangan Allah sudah berdenyut. Akan ada seleksi dengan basis bahasa langit, mana
umat Islam sesuai perintah-Nya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar