Halaman

Kamis, 19 Januari 2017

jangan lengah dan lelah menghadapi provokator dan promotor kemungkaran



jangan lengah dan lelah menghadapi provokator dan promotor kemungkaran

Titik lemah, celah potensi retak yang sekaligus daya tahan, ketahanan NKRI seolah sudah diprediksi oleh sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ada korelasi historis antara semangat dan jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mendasari rumusan Pancasila, khususnya sila ‘Persatuan Indonesia’. Dukungan setiap penduduk, warga negara, masyarakat akan mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional,  dalam kemajemukan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. Tak kalah serunya yaitu praktik kepemimpinan nasional yang merakyat, akan semakin mewujudkan hakikat persatuan Indonesia. Itulah cita-cita para pendiri bangsa dan khususnya kita yang hidup pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Sudah kehendak sejarah. Pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, menghasilkan bahwasanya keberadaan partai politik sebagai perekat atau peretak bangsa. Di dalam tubuh internal partai bisa terjadi konflik, apalagi saat menghadapi lawan politik. Nafsu syahwat kawanan politikus jebolan Orde Baru menjadi penyubur dendam politik tak berkesudahan. Pengkhianat politik bukan pasal tercela. Tipikor menjadi produk unggulan partai. Bagaimana parpol memposisikan presiden hanya sebagai petugas partai. Ketua umum parpol yang mempunyai hak prerogatif lokal. Bencana politik menjadi menu harian kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ataukah karena kutukan sejarah, dengan dimana terjadi efek domino negara multipartai, indikasi negara multipartai adalah melebarnya multikrisis.

Akankah karena partai politik (parpol) didirikan sekedar bisa ikut pesta demokrasi lima tahunan, sekedar memenuhi syarat demokrasi, bukan berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat, hasilnya banyaknya parpol identik dengan banyaknya krisis.

KILAS BALIK
Bahasan berikutnya saya mencuplik secara acak ujaran yang tertera pada buku “materi ajar mata kuliah pendidikan pancasila”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013. Dimulai dengan,  praktik Pancasila  dalam kehidupan sehari-hari bermasyakarkat, berbangsa dan bernegara terdiri atas nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai tiap sila.

Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36 butir, fokus  pada sila Persatuan Indonesia :
a.      Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.      Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c.       Cinta tanah air dan bangsa.
d.      Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e.      Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan.

Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dll.

Sila Persatuan Indonesia : mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.

KONDISI YANG DIPERLUKAN
 Ganti acuan, kita simak Tap MPR RI V/2000 tentang  Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Fokus pada Bab III Kondisi Yang Diperlukan, terdiri atas 12 butir rumusan. Butir ke-8 dan ke-9 tersurat :

8.    Terwujudnya demokrasi yang menjamin hak dan kewajiban masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik secara bebas dan bertanggung jawab sehingga menumbuhkan kesadaran untuk memantapkan persatuan bangsa.

9.    Terselenggaranya otonomi daerah secara adil, yang memberikan kewenangan kepada daerah untukmengelola daerahnya sendiri, dengan tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.

Fokus pada Bab V Kaidah Pelaksanaan, terdiri atas 4 butir rumusan. Butir ke-2 tersurat :

2.    Menugaskan kepada pemerintah untuk :
a.      memfasilitasi diselenggarakannya dialog dan kerja sama pada tingkat nasional maupun daerah, yang melibatkan seluruh unsur bangsa, baik formal maupun informal, yang mewakili kemajemukan agama, suku dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk menampung berbagai sudut pandang guna menyamakan persepsi dan mencari solusi.
b.      segera menyelesaikan masalah dan konflik secara damai di berbagai daerah dengan tuntas, adil, dan benar, dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.

PERAN PEMERINTAH
Masih mengacu pada Tap MPR RI V/2000, fokus Lampiran : Identifikasi Masalah, terdiri atas 12 butir rumusan. Butir ke-3 tersurat :
3.    Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat. Hal itu semakin diperburuk oleh pihak penguasa yang menghidupkan kembali cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang feodalistis dan paternalistis sehingga menimbulkan konflik horizontal yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Katakan sejujurnya, Tap MPR RI V/2000 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2000, dimana semangat reformis masih membara. Tepatnya, sang reformis menunjuk pihak lain dengan telunjuknya bersamaan membuka tabir jati diri.

KEDAULATAN UMAT
Lagi-lagi mengacu Tap MPR RI V/2000. Salah satu pertimbangan ditetapkannya adalah :
bahwa perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal, sebagai akibat dari ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya penegakan hukum, serta praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme

Memang, salah satu lawan kata ‘persatuan’ adalah ‘konflik’.

Bukan berarti konflik vertikal maupun horizon semakin menjadi menu politik Nasional. Sebagai konsekuensi negara multipartai.  Jika semua konflik ditelaah, akan mengerucut akibat adanya tindak kemungkaran. Kemungkaran yang dibalut atau dilégitimasi oleh asas konstitusional. Ada benarnya kalau kebijakan tidak bisa dikriminalisasi.

Ikhwal Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS Al Hajj [22] : 41) :  “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”

Umat Islam, dengan kadar keimanan yang fluktuatif, tetap diwajibkan untuk mengikari kemungkaran. Lebih terasa jika dilakukan secara formal, dengan semangat kebersamaan. Dilakukan secara menerus, sebagai bagian dari dakwah atau menyerus berbuat kebaikan.

Kemungkaran di periode 2014-2019 tidak hanya dalam bentuk tindakan nyata, masif dan terukur dari penguasa setiap tingkatan pemerintahan. Lebih acap dalam bentuk ucapan, ujaran yang ditayangkan di media massa. Atau terbukti ditulis  di media massa dengan segala bentuk tampilan.

Apa yang diindikasikan atau sinyelemen di Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, menjadi PR bagi umat Islam untuk menyikapinya. Tidak harus mengikari kemungkaran dengan malah membuat kemungkaran kecil. Tidak harus berbalas pantun atas kemungkaran lisan atau tulisan yang diproduk pihak tertentu. Lazim jika ada tindakan anarkis sebagai modus operandi mempertahankan status quo pemerintah. Jamak jika ada rekayasa pihak berwenang, berwajib untuk menjaga stabilitas keamanan nasional dengan cara kontra produktif, melawan arus.

Efek domino kemajuan, kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, menjadikan anak bangsa susah membedakan mana berita faktual, aktual dengan mana berita produk pesanan dengan berbagai kepentingan terselubung. Jangankan berita produk perorangan, individu. Bahkan ada tampilan, tayangan media sosial, media dalam jaringan atau sebutan lainnya,khusus olah saji berita miring. Agar tampak akademis, ilmiah tak jarang ada semacam “lembaga survei” yang tugasnya semakin memperkeruh kemelut politik negara.

SIMPUL AKHIR KATA
Memasuki tahun ketiga atau tengah periode pemerintah 2014-2019, tepatnya 20 Oktober 2016 – 20 Oktober 2017, apapun bisa terjadi. Bisa dibilang sebagai barometer kinerja pemerintah yang prospektus atau kemungkinan yang sukar diprediksi. Bisa sebagai puncak prestasi, titik jenuh atau titik balik.

Seperti ada korelasi substansial antara sila ke-3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia, dengan tahun ke-3 periode 2014-2019. Artinya, demi Persatuan Indonesia, maka pemerintah mati-matian menjaga keutuhan bangsa dan negara. Atau sebaliknya, bisa menjadi permainan politik tingkat tinggi. Menggadaikan masa depan bangsa dan negara. Cekokan unsur yang “serba asing” sudah sampai di tenggorokan rakyat.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar