jangan lengah dan lelah menghadapi provokator dan
promotor kemungkaran
Titik lemah, celah potensi retak yang
sekaligus daya tahan, ketahanan NKRI seolah sudah diprediksi oleh sila ketiga
Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ada korelasi historis antara semangat dan
jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mendasari rumusan Pancasila, khususnya
sila ‘Persatuan Indonesia’. Dukungan
setiap penduduk, warga negara, masyarakat akan mampu mewujudkan persatuan dan
kesatuan nasional, dalam kemajemukan bangsa,
Bhinneka Tunggal Ika. Tak kalah serunya yaitu praktik kepemimpinan nasional
yang merakyat, akan semakin mewujudkan hakikat persatuan Indonesia. Itulah cita-cita
para pendiri bangsa dan khususnya kita yang hidup pasca proklamasi kemerdekaan
RI 17 Agustus 1945.
Sudah kehendak sejarah. Pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei
1998, menghasilkan bahwasanya keberadaan partai politik sebagai perekat atau
peretak bangsa. Di dalam tubuh internal partai bisa terjadi konflik, apalagi
saat menghadapi lawan politik. Nafsu syahwat kawanan politikus jebolan Orde
Baru menjadi penyubur dendam politik tak berkesudahan. Pengkhianat politik
bukan pasal tercela. Tipikor menjadi produk unggulan partai. Bagaimana parpol
memposisikan presiden hanya sebagai petugas partai. Ketua umum parpol yang
mempunyai hak prerogatif lokal. Bencana politik menjadi menu harian kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ataukah karena kutukan sejarah, dengan
dimana terjadi efek domino negara multipartai, indikasi negara multipartai
adalah melebarnya multikrisis.
Akankah karena partai
politik (parpol) didirikan sekedar bisa ikut pesta demokrasi lima tahunan,
sekedar memenuhi syarat demokrasi, bukan berdasarkan kebutuhan nyata
masyarakat, hasilnya banyaknya parpol identik dengan banyaknya krisis.
KILAS BALIK
Bahasan berikutnya saya mencuplik
secara acak ujaran yang tertera pada buku “materi ajar mata kuliah pendidikan pancasila”, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2013. Dimulai dengan, praktik Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari bermasyakarkat, berbangsa dan bernegara terdiri atas nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai tiap
sila.
Adapun nilai dan norma-norma
yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36 butir, fokus pada sila Persatuan Indonesia :
a. Menempatkan persatuan,
kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa
Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali
atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara
masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara Indonesia.
Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu
perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap
egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang
memecah belah persatuan.
Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah
air, pengorbanan dll.
Sila Persatuan Indonesia : mengkomplementasikan universalisme
dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan
sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan
keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.
KONDISI YANG DIPERLUKAN
Ganti acuan, kita simak Tap MPR RI V/2000
tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Fokus pada Bab III Kondisi Yang Diperlukan, terdiri atas
12 butir rumusan. Butir ke-8 dan ke-9 tersurat :
8.
Terwujudnya demokrasi yang menjamin hak dan kewajiban
masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik secara bebas
dan bertanggung jawab sehingga menumbuhkan kesadaran untuk memantapkan
persatuan bangsa.
9.
Terselenggaranya otonomi daerah secara adil, yang
memberikan kewenangan kepada daerah untukmengelola daerahnya sendiri, dengan
tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.
Fokus pada Bab V Kaidah Pelaksanaan, terdiri atas 4 butir
rumusan. Butir ke-2 tersurat :
2. Menugaskan kepada pemerintah untuk :
a. memfasilitasi diselenggarakannya dialog dan kerja
sama pada tingkat nasional maupun daerah, yang melibatkan seluruh unsur bangsa,
baik formal maupun informal, yang mewakili kemajemukan agama, suku dan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk menampung berbagai sudut pandang
guna menyamakan persepsi dan mencari solusi.
b. segera menyelesaikan masalah dan konflik secara
damai di berbagai daerah dengan tuntas, adil, dan benar, dalam rangka
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.
PERAN PEMERINTAH
Masih mengacu pada Tap MPR RI V/2000, fokus Lampiran :
Identifikasi Masalah, terdiri atas 12 butir rumusan. Butir ke-3 tersurat :
3.
Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan
suku, kebudayaan, dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh
pemerintah maupun masyarakat. Hal itu semakin diperburuk oleh pihak penguasa
yang menghidupkan kembali cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang
feodalistis dan paternalistis sehingga menimbulkan konflik horizontal yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Katakan sejujurnya, Tap MPR RI V/2000 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18
Agustus 2000, dimana semangat reformis masih membara. Tepatnya, sang reformis
menunjuk pihak lain dengan telunjuknya bersamaan membuka tabir jati diri.
KEDAULATAN UMAT
Lagi-lagi mengacu Tap MPR RI V/2000. Salah satu pertimbangan ditetapkannya
adalah :
bahwa perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami
berbagai konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal, sebagai akibat dari
ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya penegakan hukum, serta
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme
Memang, salah satu lawan kata ‘persatuan’
adalah ‘konflik’.
Bukan berarti konflik vertikal maupun
horizon semakin menjadi menu politik Nasional. Sebagai konsekuensi negara
multipartai. Jika semua konflik
ditelaah, akan mengerucut akibat adanya tindak kemungkaran. Kemungkaran yang
dibalut atau dilégitimasi oleh asas konstitusional. Ada benarnya kalau kebijakan tidak bisa
dikriminalisasi.
Ikhwal Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS Al Hajj [22] : 41) :
“(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.”
Umat Islam, dengan kadar keimanan yang
fluktuatif, tetap diwajibkan untuk mengikari kemungkaran. Lebih terasa jika
dilakukan secara formal, dengan semangat kebersamaan. Dilakukan secara menerus,
sebagai bagian dari dakwah atau menyerus berbuat kebaikan.
Kemungkaran di periode 2014-2019 tidak
hanya dalam bentuk tindakan nyata, masif dan terukur dari penguasa setiap
tingkatan pemerintahan. Lebih acap dalam bentuk ucapan, ujaran yang ditayangkan
di media massa. Atau terbukti ditulis di
media massa dengan segala bentuk tampilan.
Apa yang diindikasikan atau sinyelemen
di Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, menjadi PR bagi umat Islam untuk
menyikapinya. Tidak harus mengikari kemungkaran dengan malah membuat
kemungkaran kecil. Tidak harus berbalas pantun atas kemungkaran lisan atau
tulisan yang diproduk pihak tertentu. Lazim jika ada tindakan anarkis sebagai
modus operandi mempertahankan status quo
pemerintah. Jamak jika ada rekayasa pihak berwenang, berwajib untuk menjaga
stabilitas keamanan nasional dengan cara kontra produktif, melawan arus.
Efek domino kemajuan, kemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi, menjadikan anak bangsa susah membedakan
mana berita faktual, aktual dengan mana berita produk pesanan dengan berbagai
kepentingan terselubung. Jangankan berita produk perorangan, individu. Bahkan ada
tampilan, tayangan media sosial, media dalam jaringan atau sebutan
lainnya,khusus olah saji berita miring. Agar tampak akademis, ilmiah tak jarang
ada semacam “lembaga survei” yang tugasnya semakin memperkeruh kemelut politik
negara.
SIMPUL AKHIR KATA
Memasuki tahun ketiga atau tengah periode pemerintah 2014-2019, tepatnya 20
Oktober 2016 – 20 Oktober 2017, apapun bisa terjadi. Bisa dibilang sebagai
barometer kinerja pemerintah yang prospektus atau kemungkinan yang sukar
diprediksi. Bisa sebagai puncak prestasi, titik jenuh atau titik balik.
Seperti ada korelasi substansial
antara sila ke-3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia, dengan tahun ke-3 periode
2014-2019. Artinya, demi Persatuan Indonesia, maka pemerintah mati-matian
menjaga keutuhan bangsa dan negara. Atau sebaliknya, bisa menjadi permainan
politik tingkat tinggi. Menggadaikan masa depan bangsa dan negara. Cekokan
unsur yang “serba asing” sudah sampai di tenggorokan rakyat. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar