Halaman

Minggu, 29 Januari 2017

laku jujur rakyat vs ujar nista pejabat



laku jujur rakyat vs ujar nista pejabat

Media massa atau apapun sebutan lainnya, dengan produk utama, produk unggulan, produk sampingan maupun produk buangan atau produk sampah, telah menjadi media – namanya juga media – atau alat oleh berbagai pihak.

Sebagai alat, ternyata ampuh di luar nalar si pengguna. Logika dasar memang tidak salah, yaitu kalau menulis berita akan akan berhenti pada pembaca. Zaman sekarang, pembaca yang cerdas, dengan serta merta tanpa pikir panjang menerima isi berita dengan yakin dan penuh kepercayaan. Dengan keyakinan tersebut, didukung kemajuan TIK, dengan ringan hati bersegera menyebarluaskan.

Secara singkat waktu, akhirnya subyek berita merasakan jasa dan manfaat media massa versi seperti itu. Ironis binti miris, media massa resmi, malah menjadi alat pembiak atau corong orang pemerintah. Katakan, penyelenggara negara, pejabat publik atau yang biasa disebut pejabat menganggap tampil di media massa menjadi multimanfaat. Bukan tampil pada suatu cara resmi saja, justru yang penting adalah ucap, ujar, umpat yang dibuat tampak terdengar cerdas, berani dan apa adanya.

Efek domino kehidupan politik di éra mégatéga terjadilah praktik peribahasa “sudah téga betulan, téga sekali tetap tidak kebagian”.

Di pihak yang empunya media massa atau sponsor, pemodal, bandar aneka ragam media massa, dengan sengaja malah menjadikan ladang bisnis. Anak bangsa yang merasa melek tekonologi, merasa bangga kalau punya andil, ambil peran dalam memperkeruh suasana batin bangsa dan rakyat Indonesia.

Jangan heran, nila sekarang bukan hanya setitik, setetes, tetapi sudah berbelanga-belanga. Mereka malah bangga pamer daya nilanya. Sekali berujar, muncul puluhan kasus. Sekali pidato resmi, hatinya puas meluap-luap, karena dampaknya membuat susah orang lain. Membuat banyak pihak sibuk, sehingga lupa eksistensi dan jati diri bangsa yang religius, agamis; yang berbudaya adiluhung. Prinsipnya sederhana, “Ora iso dadi presiden, ora opo-opo. Angger wong liyo, opo maneh sitok kuwi, ojo nganti dadi presiden. Awas nek nganti dadi presiden. Tak kandake bapakku”. Semacam drama anak SD. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar