laku jujur rakyat vs ujar nista
pejabat
Media massa atau apapun sebutan
lainnya, dengan produk utama, produk unggulan, produk sampingan maupun produk
buangan atau produk sampah, telah menjadi media – namanya juga media – atau
alat oleh berbagai pihak.
Sebagai alat, ternyata ampuh di
luar nalar si pengguna. Logika dasar memang tidak salah, yaitu kalau menulis
berita akan akan berhenti pada pembaca. Zaman sekarang, pembaca yang cerdas,
dengan serta merta tanpa pikir panjang menerima isi berita dengan yakin dan
penuh kepercayaan. Dengan keyakinan tersebut, didukung kemajuan TIK, dengan
ringan hati bersegera menyebarluaskan.
Secara singkat waktu, akhirnya
subyek berita merasakan jasa dan manfaat media massa versi seperti itu. Ironis
binti miris, media massa resmi, malah menjadi alat pembiak atau corong orang
pemerintah. Katakan, penyelenggara negara, pejabat publik atau yang biasa
disebut pejabat menganggap tampil di media massa menjadi multimanfaat. Bukan tampil
pada suatu cara resmi saja, justru yang penting adalah ucap, ujar, umpat yang
dibuat tampak terdengar cerdas, berani dan apa adanya.
Efek domino kehidupan politik
di éra mégatéga terjadilah praktik peribahasa “sudah
téga betulan, téga sekali tetap tidak kebagian”.
Di pihak yang empunya media
massa atau sponsor, pemodal, bandar aneka ragam media massa, dengan sengaja
malah menjadikan ladang bisnis. Anak bangsa yang merasa melek tekonologi,
merasa bangga kalau punya andil, ambil peran dalam memperkeruh suasana batin
bangsa dan rakyat Indonesia.
Jangan heran, nila sekarang
bukan hanya setitik, setetes, tetapi sudah berbelanga-belanga. Mereka malah
bangga pamer daya nilanya. Sekali berujar, muncul puluhan kasus. Sekali pidato
resmi, hatinya puas meluap-luap, karena dampaknya membuat susah orang lain. Membuat
banyak pihak sibuk, sehingga lupa eksistensi dan jati diri bangsa yang religius,
agamis; yang berbudaya adiluhung. Prinsipnya sederhana, “Ora iso dadi presiden, ora opo-opo. Angger wong liyo, opo maneh sitok
kuwi, ojo nganti dadi presiden. Awas nek nganti dadi presiden. Tak kandake
bapakku”. Semacam drama anak SD. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar