dilema revolusi mental, kepentingan rakyat banyak vs kebutuhan segelintir
penguasa
Pancasila, khususnya lewat sila kelima semakin menegaskan bahwasanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bermakna untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
Praktiknya juga untuk :
Merawat keselarasan antara kepentingan keluarga dengan kepentingan
lingkungan dalam batas teritoral Rukun Tetangga (RT).
Meruwat keserasian antara
kepentingan minoritas dengan kepentingan mayoritas.
Mengawal keharmonisan antara kebutuhan daerah
provinsi maupun kabupaten/kota dengan kebutuhan nasional atau NKRI.
Masalah muncul, timbul, menyeruak karena realisasi
kepentingan rakyat banyak tidak sesuai dengan selera penguasa. Kebijakan lokal
memang acap tidak memihak rakyat. Siapa tahu munculnya kebijakan lokal atas
kehendak pihak tertentu. Sebut saja penguasaha yang beringin agar usahanya
tidak terganggu atau mengalami gangguan.
Bahkan di tingkat RT maupun RW, kebutuhan
pengusaha dapat mengendalikan kebijakan kelurahan/desa, bahkan sampai tingkat
yang lebih tinggi. Kesadaran penghuni atas alih fungsi perumahan, tergantung
daya pikat Rp. Warga, penduduk, masyarakat yang rentan, rawan, riskan dengan
rayuan Rp, selain imannya tergoyahkan, bahkan tega mengorbankan kepentingan
orang banyak.
Di tingkat nasional, penerawangan, pengendusan
pengusaha atau pelaku ekonomi agar tata niaga semua kegiatannya tidak mengalami
ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan), harus bermain mata dengan
penguasa.
Ironisnya, yang namanya penguasa selalu identik dengan
masa jabatan, periode jabatan. Padahal, jam kerja pengusaha atau pelaku
ekonomi, bisa 24 jam dan menerus sampai anak cucu. Akhirnya, sejarah
membuktikan kalau pengusaha atau pelaku ekonomi tidak sekedar mampun memesan
kebijakan, tetapi bahkan menentukan siapa saja yang patut, layak, pantas jadi
penguasa.
Uraian ini mungkin tidak menunjang judul. Tidak
masalah kawan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar