Halaman

Jumat, 05 Februari 2021

trah agawé bubrah, balung gedhé vs rai gedhèg

trah agawé bubrah, balung gedhé vs rai gedhèg

Bukan ungkapan yang teruji oleh zaman. Asal nyata, mau diapakan memang tetap begitu faktanya. Judul merupakan kesatuan makna yang harus dicerna, dilumat, ditelaah maupun ditelan utuh-utuh. Diurai menjadi sub-judul malah tambah amburadul. Pendekatan kebahasaan, kian mengkusutkan makna. Bukan mengkerucutkan permaksudan.

 Bagi pihak pengguna aktif bahasa Jawa segala kelas pemakaian, langsung tergiur untuk saling adu tegur. Soalnya, peng(k)aku bias dimakna. Konflik bahasa bukan budaya, namun karena menjadi alat politik praktis. Menjadi alat negara alias alat penguasa yang multiguna dan multiefek. Efek positif aksi unjuk diri tanpa tatap muka dengan kerumunan massa. Cerdas emosi kebatinan diri kian fasih, latah, lincir lidah merasa tidak ada saksi mata.

 Tatanan budaya politik nusantara melahirkan pasal bahwa yang baik, bagus, benar, betul sesuai aklamasi, bukan norma moral, tradisi adat luhur leluhur apalagi norma religuisitas. Konstruksi hukum di serba menjanjikan. Konflik hukum terselubung, berlapis masih sekitar beda pemahaman. Keterbukaan hukum mengacu pada siapa yang terlibat. Bukan pada pasal. Intensitas dan eskalasi konflik yang acap terjadi antara kawanan melek hukum dengan pihak yang non-melek hukum. [HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar